Selasa, 29 Agustus 2017

ONE SHOOT / FICLET / DRABBLE

Anyoeng, page ini aku khususkan untuk karya-karyaku dengan LENGTH : one shoot, ficlet, atau drabble..


Just enjoy !!!
No CoPla (Copy - Plagiat)


FOR THE SAKE OF GINKGO LEAVES (FICLET)


WannaOne’s Kim Jaehwan, OC’s Lee Nami, UP10TION’s Wooshin | Hurt | Ficlet



For the Sake of Ginkgo Leaves (FICLET)



by Shin Eun So (Nugichan @wattpad)

WannaOne’s Kim Jaehwan, OC’s Lee Nami, UP10TION’s Wooshin | Hurt | Ficlet

Demi daun ginkgo yang berjatuhan pertanda musim gugur hampir berakhir, Jaehwan hanya tahu dua hal yang dapat membuat kedua manik gadis itu menjadi begitu sembab, karena nilai rapotnya merah atau salah satu koleksi pohon bonsai kesayangannya mati. Namun tidak untuk kali ini, gadis yang telah tumbuh bersamanya selama 17 tahun itu memiliki alasan lain untuk menangis. Ya, sekarang Nami adalah gadis remaja yang mulai mengenal apa itu jatuh cinta dan patah hati.

“Wo.. Wooshin, dia kembali ke Amerika.”

Angin musim gugur menerbangkan helaian rambutnya yang panjang, hingga  beberapa darinya menempel di pipinya yang basah. Bahkan gonggongan Tomiko tak mampu membuat bibir gadis itu melengkung keatas seperti yang biasa ia tunjukkan. Jaehwan menyadari betapa redupnya suasana hati gadis itu sekarang, dan satu sisi hatinya tidak menyukai hal itu.

“Aku yakin ini belum terlambat Nami,  Aku akan menemui Wooshin. Kau, berjanjilah untuk tetap disini. Kajja, Tomiko”

Jaehwan segera menarik tali anjingnya yang berjenis golden retriever dan berlari melewati Nami. Seakan mengerti, kaki-kaki lincah Tomiko berlari mendahului, membuat Jaehwan mempercepat jejakkan kakinya. Mengapa aku harus berlari?. Satu pertanyaan itu seakan memperberat langkahnya, ada rasa sesak yang muncul di rongga dadanya, bebaur dengan pacuan detak jantung yang semakin cepat. Namun bayangan wajah Nami dengan mata sembabnya menjadi satu keyakinan bagi Jaehwan.

 Sure, I’ll change things like fate

Jaehwan menarik kencang tali Tomiko untuk berbalik arah ketika melihat mobil silver melaju melewati jalan Samcheodong. Sebuah jalan kecil di tengah hutan kota dipilih mereka sebagai jalan pintas. Jaehwan merasa kakinya semakin berat, kepalanya mulai terasa pening, dan nafasnya semakin keras berhembus. Namun ketika melihat begitu bersemangatnya Tomiko membuatnya tak berniat untuk berhenti. Ia bahkan tak bisa memperhatikan rintangan di depannya, hingga kakinya menyenggol sebuah batu berukuran cukup besar dan membuatnya terjatuh, tali leher Tomiko terlepas bagitu saja dari genggamannya.

Jaehwan meringis, dan mencoba menegakkan tubuhnya kembali. Ditengah helaan nafasnya yang masih belum beraturan, sebuah peristiwa menambah tingkat hormon adrenokortikotropik dalam tubuhnya. Ia menyaksikan sendiri sebuah mobil menghempas tubuh Tomiko jauh ke jalanan. Kejadian itu terjadi begitu cepat. Detik itu juga Jaehwan merasa pikirannya kosong, bahkan saat berlari pun ia merasa kakinya tak menapak tanah. Pandangannya kini hanya tertuju pada tubuh Tomiko yang tergeletak tanpa gerak di jalan. Namun saat Jaehwan melihat sosok keluar dari mobil yang berhenti tak jauh dari Tomiko, ia merubah arahnya.

“Wooshin…. ke taman lah sekarang. Nami … dia menangis” Jaehwan memegang erat kedua bahu Wooshin, mencoba mengabaikan segala perasaan yang bergejolak hebat di dadanya.

“Nami? Ada apa dengannya?” Wooshin belum sepenuhnya memahami keadaan.

“Dia benar-benar kacau. Kumohon temuilah dia sekarang.”

Terdengar jelas getaran pada suara terakhir Jaehwan, melepas sosok Wooshin yang segera berlari cepat ke arah taman. Bahkan ia tak menghiraukan teriakkan kakaknya yang mengingatkan jam keberangkatan pesawat mereka menuju Amerika.

“Apa ini anjingmu?”

Pertanyaan dari kakak Wooshin seakan kembali memukul keras dadanya. Ia berbalik dan berjalan gontai, mendekati sosok Tomiko yang terlihat damai dengan mata terpejam, hingga lututnya tak mampu lagi menopang tubuhnya, ia pun jatuh tersungkur ke jalan dengan tangisan yang tumpah.  

~~~

Demi pesona daun ginkgo yang berwarna kuning keemasan diterpa mentari sore. Jaehwan hanya tahu dua hal yang dapat membuat dirinya merasa menjadi orang paling bahagia di dunia. Senyum gadis itu dan tingkah manja Tomiko.  Namun kini ia harus memilih diantara keduanya.

“Aku tak tau apa jadinya jika kau tidak bertemu Wooshin. Mungkin aku tidak akan pernah menyatakan apa yang kusimpan selama ini. Aku bahkan mengira takdir tak akan mempertemukan kami”

Akhirnya, Jaehwan bisa melihat kembali senyum manis gadis itu, walau dengan alasan yang tak dapat diterima hatinya.

Chukae. Percayalah pada sebuah takdir yang didapatkan manusia dengan tindakannya.”

Jaehwan mengakui, dirinya masih tak bisa lepas dari kedua obsidiannya yang terlihat bersinar ketika tersenyum. Sekalipun ia tak menggeser pandangannya hingga mata gadis itu tertuju pada tali leher Tomiko yang tergeletak di atas bangku.

“Apa Tomiko lepas lagi? Aishh.. anjing nakal itu. Jaehwan-ah, aku akan membantumu mencarinya.”

Jaehwan tidak bisa lagi menatap lekat indahnya manik gadis itu ketika ia berpaling dan berlari kecil sambil meneriakkan nama Tomiko. Hingga pandangannya tergantikan dengan helai-helai kuning keemasan yang melayang indah kemudian bercampur dengan helaian lain yang mulai berwarna kecokelatan. Entah kenapa, Jaehwan ingin menjadi satu dari helaian itu, walau ditakdirkan luruh ke bumi, dedaunan ginkgo jatuh dalam wujud dan warna aslinya, menciptakan karpet emas yang mampu membuat orang menyadari betapa indah dan hebatnya mereka.


     -  FIN -

Jujur, ini pertama kalinya saya bikin Ficlet, ternyata susah juga menuangkan ide dalam ruang terbatas. Jadi mohon dimaklumi atas segala kekurangannya yaa..

Kamis, 24 Agustus 2017

The TEEN-ACE (Chapter 2)


Tittle
:
The TEEN-ACE (Chapter 2)
Casts
:
Yoo Ra Eun (OC)


Kim Sohye (IOI)


Park Ji Hoon (Wanna One)


Hwang Min Hyun (Wanna One)


Jeon So Mi (IOI)


Jung Chaeyeon (IOI)


Kim Jae Hwan (Wanna One)


Ha Seok Jin (Actor)
Author 
:
Shin Eun So / Nugichan (@Wp)
Genre  
:
School life, Romance
Length 
:
Chapter
Ratting
:
General



Disclaimer  : This FF is truly mine. Komentar dan Saran adalah pupuk semangat bagi author.
No Copy No Plagiat. Enjoy Reading !
Also posted on https://wannaoneffindo.wordpress.com/ 
and my personal wattpad @Nugichan


                Restoran mewah Perancis dipilih menjadi pengisi dinner Jeon So Mi dan ibunya malam itu. Beef Bourguignon dan minuman Gatorade menjadi hidangan utama mereka. Tak tertinggal musik instrumental dari para pemain biola mengalun lembut menemani para pengunjung restoran yang pasti sudah bisa ditebak di kelas mana mereka berada.
          “Bagaimana dengan kelasmu?” pertanyaan dari Ibu So Mi memulai kembali pembicaraan mereka yang terhenti setelah pelayan menyajikan hidangan.
          “Aku mendapat tempat duduk yang strategis, dekat dengan guru, dan di sekelilingku adalah siswa-siswa unggulan.” Ujar So Mi.
          “Kau sudah tahu perihal kompetisi yang akan diadakan dalam waktu dekat ini bukan? Ini kesempatan bagus Soomi-ah. Kau harus bisa menunjukkan pada Appamu jika kau mampu mendapat posisi pertama”
          Somi memandang wajah Ibunya, ia diingatkan kembali pada kompetisi Fisika yang akan diadakan dalam waktu dekat ini. Kompetisi yang digagas ayahnya bekerjasama dengan Imprerial College London dimana juara pertama lomba itu akan mendapat beasiswa penuh dan menjadi mahasiswa istimewa yang diterima tanpa seleksi di Universitas terkenal di Inggris. Bahkan berita itu sendiri belum tersebar kepada siswa Tourin.
          “Hwang Min Hyun, dia mungkin tidak ikut karena masih mengerjakan social project  nya.”
          “Benarkah, ini benar-benar jackpot Joen Somi.” Ibunya tersenyum puas, walaupun sekilas ia dapat menangkap raut kesal saat ia memanggil nama putrinya lengkap dengan marga.
          “Ani Eomma, aku masih memiliki satu saingan yang sangat sulit dikalahkan.”
          Perkataan So Mi membuat ibunya mengernyit, hingga ia menyadari sesuatu. Benar, berada di kelas A bukan berarti yang terbaik. Karena di atas unggul ada yang yang lebih unggul. Ia tahu putrinya adalah anak yang penuh ambisi dan masuk dalam jajaran bintang Tourin School. Ia menghentikan santapan makan malamnya kemudian menatap ke arah jalanan kota yang masih diguyur hujan sejak sore tadi. Dibalik tatapannya yang datar, terselip sebuah rencana.
          ~ ~ ~
          Lee Sora (C-2)
Pengurangan poin : 20
Hukuman              : skorsing satu minggu.
          Han Ji Hoo (D-2)
Pengurangan poin  : 5
Hukuman              : menjadi pelayan makanan selama jam istirahat.

                                                                    Tertanda
                                                                    Kepala Sekolah Tourin
                                                                    Han Ji Kwon

          Papan pengumuman menjadi ramai sejak guru Nam menempelkan keputusan hukuman yang diterima Sora tentang insiden klub malam. Beberapa siswa terlihat berbisik-bisik, sedangkan di antara kerumunan itu terlihat Chaeyeon yang menahan kegeramannya.
          “Yaa..mincheosso… !!” Ra Eun yang cukup terkejut mendengar teriakkan itu menyenggol pelan lengan sahabatnya.
          “Raccon-ah, Han Ji Hoo adalah pelaku yang menyebarkan foto Sora bukan kau, dan sedikitpun tak ada kompensasi untuk kameramu?”
          Ra Eun dapat memahami kekesalan sahabatnya, walaupun Ra Eun sendiri sudah  menerima permintaan maaf dari Sora, namun jauh di lubuk hatinya ia masih tak rela kehilangan kamera kesayangannya.
          “Sudahlah, walaupun aku mendapat kompensasi, aku tak akan bisa mendapatkan kamera yang sama.”
          Perkataan Ra Eun membuat Chaeyeon sadar. Memang kamera pemberian ayahnya tak akan tergantikan, dan pasti akan sulit mendapatkan kamera dengan jenis yang sama karena perusahaan tidak memproduksinya lagi.
          “Yoo Ra Eun.” Sebuah suara terdengar memanggil Ra Eun dari arah kerumunan, beberapa siswa terlihat menundukkan kepalanya saat mengetahui kedatangan sosok tersebut.
          “Ye, Ha ssaem.” Ra Eun yang mengetahui siapa memanggilnya juga turut menundukkan kepalanya. Dia adalah Ha Soek Jin, guru sekaligus wali kelas F.
          “Bisa ikut aku ke kantor guru sebentar?”
          “Ah, ye.” Ra Eun yang masih terlihat kebingungan melihat sekilas ke arah Chaeyeon seolah bertanya apa benar aku yang dipanggil, kenapa aku. Chaeyeon hanya membalasanya dengan anggukan cepat seakan meyakinkan sahabatnya.
          ~ ~ ~
          “Ini.” Guru Ha menyerahkan gulungan kertas berukuran A3 kepada Ra Eun, dengan bimbang Ra Eun menerima gulungan itu dan membukanya perlahan. Ia  mengernyit saat melihat ternyata gulungan kertas itu adalah poster lomba fotografi yang diadakan oleh dinas pariwisata Seoul.
          “Aku tau, kau memiliki bakat dalam dunia fotografi. Kau mungkin ingin mencobanya.”
          Ra Eun memandang sekilas wajah Guru Ha, kemudian melanjutkan kembali membaca posternya, hingga matanya membulat saat melihat tulisan di bagian akhir poster itu.
          “Hadiah utama kamera DSLR, daebakk.” Ra Eun bergumam, Guru Ha tersenyum melihat ekspresi nya, “Tapi ssaem, ada standar kamera sebagai salah satu persyaratan. Aku tidak mungkin menggunakan kamera ponsel”
          “Ahh benar.” Guru Ha baru menyadari jika kamera Ra Eun telah rusak, ia memijit pelipisnya pelan mencoba mencari solusi.
          “Aku akan mencari informasi pada rekanku, mungkin mereka bisa meminjamkan kamera. Jika sudah dapat, aku akan menghubungimu”
          Ra Eun tersenyum, ia dapat mendengar kesungguhan dari ucapan guru Ha. Walaupun banyak siswa yang memiliki penilaian bermacam-macam terhadap guru yang sudah mengabdi selama lima tahun di sekolah Tourin itu, Ra Eun yakin dia adalah guru yang peduli dan akan selalu siap berkorban demi siswanya.
          “Ye, ghamsahaminida ssaem, kalau begitu saya pamit ke kelas.”
          ~ ~ ~
          Sehabis jam sekolah, Ra Eun tak langsung  pulang ke rumah. Ia menemani Chaeyeon ke toko peralatan memasak karena ada sesuatu yang ingin dibelinya. Chaeyeon memiliki hobi memasak dan Ra Eun mengakui jika masakkan yang dibuat sahabatnya itu memang lezat, berbeda sekali dengan dirinya yang masih canggung berhubungan dengan peralatan dapur. Selesai berbelanja, Ra Eun dan Chaeyeon berpisah karena arah pulang mereka berlawanan. Karena jarak rumah nya cukup dekat dari pertokoan, Ra Eun memutuskan untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana sore yang cerah. Beberapa kafe dan taman mulai terlihat banyak pengunjung, baik mereka yang tengah istirahat bekerja ataupun mereka yang ingin mencari udara di luar. Saat melewati taman, Ra Eun melihat seorang berseragam Tourin sedang mengambil foto orang-orang yang tengah beraktifitas di taman itu. Ia tak dapat memastikan siapa karena Ra Eun hanya melihat bagian belakangnya saja. Karena penasaran, Ra Eun memutuskan untuk mendekatinya.
          “Hwang Min Hyun” Sapa Ra Eun setelah mengenali wajah siswa nomor 1 di Tourin School itu.
          “Oh, Yoo Ra Eun.”
          “Apa yang…wahhhh.” Perkataan Ra Eun terputus karena perhatiannya kini teralih pada benda yang sedang dipegang Min Hyun.
          “EOS 5D, memiliki sensor full frame, resolusi 30,4 megapiksel, dapat mengambil objek dengan pergerakan cepat dan akurat.” Ra Eun berdecak kagum dan memandang takjub ke arah kamera yang menjadi salah satu hal yang paling diimpikannya saat ini.
          “Hebat,  kau bahkan hafal spesifikasinya.” Min Hyun sendiri tak dapat menahan senyumnya melihat ekspresi takjub Ra Eun.
          “Yaa, semua orang pasti bermimpi memiliki kamera ini. Memangnya… apa yang sedang kau lakukan di taman ini?” Ra Eun melanjutkan pertanyaannya sambil memperhatikan Min Hyun.
          “Aku sedang mengambil foto untuk social project ku. Mmm, Ra Eun-ah. Apa kau sibuk?”
          “Na… ani, wae?” Ra Eun menggeleng.
          “Bisa membantuku?”
          Dan yang terjadi selanjutnya adalah Ra Eun menjadi fotografer dadakan untuk proyek Min Hyun. Setelah mendapat pengarahan, ia mengambil foto yang sesuai dengan konsep. Ra Eun bahkan berhasil mengambil beberapa moment yang pas dan terjadi secara natural. Sedangkan Min Hyun bertugas untuk mewawancarai orang sekitar untuk memenuhi data proyeknya.
          Tak terasa satu jam berlalu, sebagai ungkapan terimakasih Min Hyun mentraktir Ra Eun ice cream. Sebuah bangku di bawah pohon yang cukup rindang dipilih mereka untuk menghilangkan penat.
          “Wahh, hasil jepretanmu sangat bagus, seperti professional saja.” Puji Minhyun sambil membuka satu persatu foto yang telah diambil Ra Eun.
          Ra Eun tersenyum malu. Jadi begini rasanya dipuji oleh orang yang sering diberikan pujian. “Aku bercita-cita ingin menjadi fotografer yang professional suatu hari nanti, jadi aku masih harus banyak belajar. “
          Min Hyun menganggukkan kepalanya, Ia kembali menatap gadis di sebelahnya yang hampir menghabiskan ice cream vanilla hingga perhatiannya tertuju pada gulungan kertas yang keluar dari tas Ra Eun. “Apa yang ada dalam tasmu?”
          Ra Eun yang mengerti maksud Minhyun segera menarik keluar gulungan kertas itu dan memperlihatkan isinya. “Ha ssaem yang memberikannya padaku.”
          Min Hyun membaca sekilas isi poster tersebut kemudian mengangguk-angguk “Apa kau akan ikut perlombaan ini?”
          Mendengar pertanyaan Min Hyun, Ra Eun hanya mengendikkan bahunya. Sejujurnya ia sendiri masih bimbang untuk mengikuti event itu.
          “Ahh, benar, kameramu rusak karena terjatuh dari lantai 3 sekolah.” Min Hyun memiringkan kepalanya, ia bisa mengingat dengan jelas kejadian jatuhnya kamera Ra Eun karena dia sendiri berada tak jauh dari tempat kejadian saat itu.
          “Pakai ini.” Lanjut Min Hyun, sambil menyodorkan kameranya ke arah Ra Eun.
          Ra Eun yang belum sepenuhnya mengerti maksud Min Hyun hanya bisa menatapnya kebingungan.
          “Pakai  saja kamera ini. Lagipula aku sudah selesai dengan dokumentasi proyekku.”
          “Hwang Min Hyun… apa aku bermimpi?”
          Pertanyaan Ra Eun membuat Minhyun tertawa, ia meraih telapak tangan Ra Eun dan meletakkan kamera miliknya di atasnya.
          “Aku meminjamkan kameraku agar kamu bisa mengambil gambar dan mengirimnya pada panitia lomba.”
          Perkataan Min Hyun membuat Ra Eun melonjak kegirangan. Gadis itu bahkan tak henti-hentinya berucap terimakasih. Dibalik wajahnya yang polos, Min Hyun dapat menangkap tekad kuat dan perjuangan. Tanpa ia sadari, wajah ceria gadis itu telah menarik satu sudut kecil di hatinya.
~ ~ ~
          Sohye melangkahkan kakinya pelan seiring putaran roda sepeda yang ditundanya melewati jalanan yang cukup sepi. Ia baru saja menuntaskan pekerjaan untuk mengantarkan laundry kepada pelanggan ibunya. Langkahnya terhenti ketika sebuah suara memanggil namanya.
          “Kim Sohye.”
          Sohye mundur beberapa tapak ketika melihat beberapa gadis dengan pakaian modis mendekatinya. Tubuhnya membeku, berbagai asumsi buruk bermunculan dari kepalanya. Salah seorang dari mereka yang disinyalir ketua dari geng itu mengambil beberapa buku dan menaruh kasar di dalam keranjang sepeda Sohye.
          “Kerjakan tugas kami bertiga. Besok harus diserahkan pada Nam ssaem, dan pastikan untuk tidak membuat kesalahan.”
          Sohye dengan ragu mengambil salah satu buku dari dalam keranjang sepeda kemudian membacanya. ia mengernyit ketika melihat kertas sanksi yang terselip di antara buku itu.
          “I..ini bukan PR kalian?”
          “Eohh, itu hukuman dari Nam ssaem, kami harus menulis essay sebanyak 10000 kata dan dikumpulkan besok. Kau keberatan?”
          Sohye menggeleng pelan, ia menatap sejenak tugas essay yang begitu banyak, apalagi ia harus mengerjakan untuk tiga orang sekaligus, tiba-tiba ia teringat ibunya yang ada di rumah “Tapi.. ibuku sedang sakit dan aku harus membantu beberapa pekerjaannya. Aku tidak yakin dapat menyelesaikannya malam ini”  
          Jawaban Sohye menyulut emosi si ketua geng, Na Bora, ia kemudian menarik rambut Sohye dan berbisik di telinganya “Yaa.. kau hanya perlu menggunakan otakmu seikya.”  
            Bora mendorong kepala Sohye hingga membuatnya hampir hilang keseimbangan. Tidak ada rasa kasihan sama sekali, yang ada hanyalah tawa penghinaan dari mulut-mulut gadis itu. Sohye mencoba menahan matanya yang mulai memanas, ini sudah menjadi hal biasa baginya.
          “Wahh wahh, ternyata semudah itu kalian mengerjakan essay.” sebuah suara menghentikan aktivitas Na Bora dan teman-temannya.
          “Yaa.. Park Ji Hoon, mwohaneungoya?” Bora menatap sinis saat melihat kedatangan Ji Hoon, ia semakin geram saat mengetahui Ji Hoon mengarahkan kamera ponselnya ke arah mereka.
          “Sohye-ah, kau bisa mendapat tambahan poin karena sering menulis esai. Tapi sayang sekali, essay-essay mu digunakan untuk menebus kesalahan orang lain” Ujar Ji Hoon sambil menurunkan ponselnya.
          Bora mengepalkan tangannya dan berjalan ke arah Ji Hoon, ia berniat untuk merebut ponsel itu namun tak bisa karena Ji Hoon mengalihkannya dengan cepat “Kau tak usah ikut campur Park Ji Hoon, ini urusan kami. Lebih baik kau pulang dan urus kedai dagingmu.”
          Ji Hoon hanya menanggapinya dengan kekehan. Salah satu teman Bora mendekat dan membisikkan sesuatu kepadanya. Mereka tampaknya tak mau memperpanjang urusan sehingga memutuskan untuk beranjak dari tempat itu.
          “Kau baik-baik saja?” Ji Hoon memastikan keadaan Sohye yang masih terlihat gemetar.
          “Aku baik-baik saja. Park Ji Hoon kumohon, jangan berikan video itu kepada Nam ssaem.”  
          “Tenang saja, aku akan menunjukkannya saat kau sudah siap menjadi pembela untuk dirimu sendiri.”
          Sohye terdiam, Ji Hoon benar. Ia masih tak berani keluar dari belenggu Bora dan teman-temannya. Kadang ia  merasa satu sisi dirinya berontak untuk bangun dari mimpi buruk, namun di sisi lain, sesuatu masih menahan keberaniannya untuk tetap tidur. Ia kembali memandang Ji Hoon yang mulai beranjak meninggalkannya, entah kenapa Sohye merasa bisa menaruh harapan pada sosok itu.
~ ~ ~
Bel istirahat pertama, Ji Hoon melangkahkan kakinya cepat melewati koridor yang mulai dipenuhi lalu lalang siswa. Sesekali ia memainkan smartphonenya seperti membalas pesan dari seseorang. Hingga langkah kakinya membawa ke tempat yang jauh dari keramaian, tepatnya menuju halaman belakang sekolah. Tanpa memperhatikan sekitar, Ji Hoon langsung menaiki tangga yang bersandar pada tembok dengan tinggi 2,5 meter itu, tanpa ia sadari seseorang sedang memperhatikan tindakannya.
          “Yaa.. kau lagi.”
          Teriakkan seorang siswa membuat Ji Hoon menghentikkan langkahnya yang hampir mencapai puncak tangga dan menoleh ke bawah.
          “Mau ikut?” tak berniat menghentikan tindakannya, Ji Hoon justru mengajak gadis yang kini tengah menatapnya tajam.
          “Memangnya kau mau kemana?”
          “Namsan Tower.”
          Jawaban Ji Hoon justru membuat gadis itu diam, ia nampak menimbang-nimbang pikirannya.
          “Sebenarnya aku..”
          Belum sempat gadis itu menyelesaikan perkataannya sebuah teriakkan keras mengejutkan mereka.
          “Park Ji Hoon, Yoo Ra Eun.. ke kantor guru sekarang juga.”
          ~ ~ ~
          Ra Eun tak habis pikir, bagaimana bisa ia ikut menanggung beban hukuman dengan alasan percobaan membolos. Berkali-kali ia meyakinkan Nam ssaem bahwa dirinya tidak berniat untuk melakukan hal itu dan hanya memberi teguran pada Ji Hoon yang sedang mencoba kabur dari sekolah. Namun percuma, Nam ssaem tetap berpegang dan membenarkan asumsi awal dari apa yang dilihatnya.
          Ra Eun menempelkan lap basah ke kaca ruang laboratorium dengan kasar, kemudian menggerakkannya dengan cepat. Ia mendesis melihat ke arah Ji Hoon, wajah innocent itu benar-benar membuatnya kesal.
          “Ya.. kenapa kau tak mengatakan yang sebenarnya?” Ra Eun sudah tak sabar melihat Ji Hoon yang hanya diam.
          “Percuma, walaupun itu bukan kau, Nam ssaem pasti akan memberikan hukuman yang sama.”
          “Setidaknya kau bisa memberikan pembelaan untukku, Park Ji Hoon.”
          “Kudengar kau akan ikut kompetisi fotografi. Sebenarnya kau juga ingin mencari kesempatan untuk keluar dari sekolah kan?
          Ra Eun terhenyak, bagaimana bisa pria ini menebak fikirannya. Namsan Tower memang menjadi salah satu opsi Ra Eun untuk objek fotonya. Namun padatnya jadwal sekolah membuatnya kesulitan mengatur waktu, lagipula jarak dari rumahnya ke sana cukup jauh.
          Namun tetap saja, Ra Eun merasa menyesal. Andai saja tadi ia tak memergoki Ji Hoon, mungkin ia tak akan dihukum membersihkan kaca dan menjadi bahan bisikan dan tawaan para siswa yang melewati mereka.
          Ra Eun menghentikkan kegiatan melapnya, ia berbalik dan menyandarkan belakangnya ke dinding kemudian memijit perlahan bahunya yang mulai pegal. Ra Eun menarik nafas dalam setelah menghitung jumlah jendela masih harus dibersihkan.  Di tengah rasa penatnya, tiba-tiba ia mendengar suara benda jatuh dari dalam laboratorium. Karena penasaran ia kemudian masuk untuk melihat.
          “Kim Sohye, gwenchana?” Ra Eun dengan cepat menghampiri Sohye yang tengah memungut beberapa bejana percobaan yang jatuh ke lantai.
          “Tak apa Ra Eun.”
          “Untung tidak ada yang pecah.” Ra Eun membantu Sohye memunguti bejana-bejana itu dan meletakkannya ke dalam keranjang. Sekilas ia dapat melihat raut wajah Sohye yang pucat dengan lingkaran hitam di bawah matanya.
          “Kau sakit?”
          “Ti..tidak.. aku hanya mengantuk karena begadang untuk belajar malam tadi.”
          “Ckck.. orang pandai sepertimu saja masih perlu begadang untuk belajar, bagaimana dengan orang biasa seperti aku. “
          Perkataan Ra Eun membuat Sohye terkikik.
          “Gomawo Ra Eun-ah sudah membantuku. Oh ya, semangat untuk membersihkan kacanya. Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu.”     
          Ra Eun mengangguk kemudian mengikuti langkah Sohye yang telah meninggalkan ruang laboratorium terlebih dulu. Ra Eun kembali mengambil beberapa lap basah dan melangkah menuju bagian jendela yang masih belum dibersihkan. Namun tiba-tiba dari kejauhan ia melihat kepala sekolah dan sekelompok orang berjas hitam berjalan melewati lorong tempat mereka berada. Ia pun segera berlari ke arah Ji Hoon.
          “Ji Hoon-ah, berhentilah. Kepala sekolah dan beberapa orang akan lewat” Ra Eun menepuk cepat bahu Ji Hoon.
          Ji Hoon tak menghiraukan, ia justru masih asyik dengan kegiatan melapnya. Orang-orang itu semakin dekat, karena geram akhirnya Ra Eun menarik seragam Ji Hoon.
          “Yaaa.. palli .. berbaliklah.”
          Bosan karena bajunya terus ditarik oleh Ra Eun, Ji Hoon dengan malas membalikkan badannya. Berbeda dengan Ra Eun yang segera membungkukkan badan, Ji Hoon justru berdiri mematung saat kepala sekolah dengan beberapa orang berambut pirang dan seorang lagi yang cukup ia ketahui, Ayah Somi komite sekaligus donator terbesar sekolah Tourin, berjalan melewatinya. Namun senggolan dari Ra Eun membuatnya tersadar dan membungkukkan kepalanya sekilas kemudian kembali pada aktivitasnya. Tanpa Ra Eun ketahui, Ji Hoon saat ini tengah menahan gejolak di dalam hatinya karena untuk kesekian kali ia melihat sosok yang benar-benar tak ingin dijumpainya.
~ ~ ~
          Guru Ha hampir selesai menggoreskan kapurnya ke atas papan tulis membentuk susunan kata yang membuat siswa di kelas F-2 mengeluh panjang, bahkan beberapa diantara mereka terdengar mengumpat kecil.
          “Baiklah, sebelum kalian bertanya dan protes, Bapak akan menyampaikan bahwa kompetisi ini adalah kerjasama Sekolah Tourin dengan Universitas London, dan jika kalian mendapat nilai termasuk kriteria, kalian memiliki kesempatan untuk mendapat  beasiswa melanjutkan pendidikan di sana.” Guru Ha menarik nafasnya dalam, ia dapat menangkap ekspresi wajah-wajah siswanya yang sama sekali tak menunjukkan ketertarikan, hingga seorang siswa mengangkat tangannya.
          “Ssaem, ini tak ada bedanya ujian, dan tentang pengurangan poin bagi siswa yang mendapat nilai di bawah standar benar-benar tidak masuk akal. Bukankah kompetisi semacam ini seharusnya hanya dikhususkan untuk siswa kelas A?”
          “Ne, ssaem. Kami sadar diri, kami adalah siswa kelas F, Fool Class.” Sambung Jaehwan lain yang justru membuat siswa lain menunjukkan kepalan tangan kepadanya.
          “Ssaem kami keberatan.”
          “Ha ssaem, aku sangat benci Fisika.”
          “Lebih baik aku tidak ikut, walaupun ikut, aku pasti akan mendapat pengurangan poin.”
          Ha Soek Jin Songsaengnim memusut wajahnya. Ia sudah tahu jika keputusan ini pasti akan mendapat penolakan dari siswa-siswanya. Awalnya ia sangat senang karena semua siswa memiliki kesempatan untuk mengikuti kompetisi tersebut, namun peraturan pengurangan poin bagi siswa yang mendapat nilai dibawah standar membuatnya keberatan. Ia telah mencoba bernegosisasi dengan kepala sekolah, namun tak berhasil.
~ ~ ~
          Two days latter
          “Mian Seohye-ah, aku benar-benar ingin membantumu tapi…”
          “Gwenchana, aku bisa melanjutkannya sendiri. Kau tak perlu khawatir.”
          “Jinja.. jongmal gomawo, aku akan mentraktirmu nanti.”
          “Kau tak perlu repot, baiklah, hati-hati dijalan.”
Seohye memandang kepergian temannya, lebih tepatnya partner satu divisi di organisasi siswa Sekolah Tourin. Niat awal mereka akan menyelesaikan proposal kegiatan musim panas sehabis jam sekolah, namun kini Sohye harus mengerjakannya sendiri karena partnernya harus pulang lebih awal untuk bertemu dengan mentor baru bimbingan belajarnya. Sebenarnya ada rasa iri dalam diri Sohye, dimana semua siswa kelas A kecuali dirinya memiliki konsultan pendidikan. Ia sadar bahwa orang tuanya tak akan mampu membayar seorang mentor belajar apalagi seorang konsultan, karena itulah Sohye selalu belajar mandiri agar ia terus bisa berada di kelas unggulan.
Tak terasa sudah 2,5 jam Sohye mengerjakan proposal. Ia merenggangkan otot tangan dan lehernya sambil melihat ke arah jam yang telah menunjukkan pukul 21.45. Ia sadar bahwa tidak ada satupun siswa di sekolah pada jam ini kecuali dirinya, semua guru juga pasti sudah pulang. Setelah mencek kembali isi proposal dan merapikan peralatan, Sohye bergegas menuju ruang guru untuk meletakkan proposal di meja Guru Jang sesuai dengan janjinya sore tadi.
Sohye melangkah cepat melalui koridor sekolah yang cukup gelap. Saat ia hampir tiba di ruang guru, sesuatu membuat Sohye mengerutkan kening ketika melhat cahaya di dinding depan ruang guru, karena penasaran Sohye segera berlari. Tepat saat ia membuka pintu, sesuatu membuat tubuhnya membeku, jantungnya berdetak cepat  memompa deras aliran darahnya, proposal ditangannya pun jatuh begitu saja. Kedua bola matanya yang terbuka lebar memantulkan cahaya kobaran api yang menyala-nyala dari satu sudut ruang guru Sekolah Tourin.

To be continued

Niat awal pengen bikin oneshoot, malah jadi chaptered. Padahal nulis aja masih canggung dan keteteran karena udah lama ga aktif..  I guess I’ve to learn more… ;-)





         





Jumat, 11 Agustus 2017

The TEEN-ACE (Chapter 1)

Tittle
:
The TEEN-ACE (Chapter 1)
Casts
:
Yoo Ra Eun (OC)


Kim Sohye (IOI)


Park Ji Hoon (Wanna One)


Hwang Min Hyun (Wanna One)


Jeon So Mi (IOI)


Jung Chaeyeon (IOI)


Kim Jae Hwan (Wanna One)


Ha Seok Jin (Actor)
Author 
:
Shin Eun So / @Nugichan (wattpad)
Genre  
:
School, Romance
Length 
:
Multi Chapter
Ratting
:
General



Komentar dan Saran adalah pupuk semangat bagi author.
No Copy No Plagiator. Typo Everywhere. Enjoy Reading !



“Being a teenager means dealing with school, parents, freedoom, love and sacrifice”

“Jadi…. Bagaimana?” gadis itu kembali bertanya pada pria yang kini tengah sibuk menggosok-gosok dagunya sambil memandang selembar foto yang ada di depannya.

          “5 won”

          “Ye? ba…bagaimana bisa semurah itu. Editor Kim, apa kau tak yakin dengan foto yang ku ambil. Ini benar-benar Kang Daniel” Jelas Nampak raut kecewa di wajah gadis itu. Yang pasti ia merasa harga yang ditawarkan tak sepadan dengan usahanya.

          “Aku tau ini Kang Daniel, tapi coba lihat kualitas gambar yang kau ambil. Ini benar-benar di bawah standar. Memang kamera jenis apa yang kau gunakan, huh?”

          Gadis itu terdiam sejenak, kemudian menarik nafas dalam. Ia sedikit menyesal, seharusnya ia membawa langsung gambar yang telah susah payah ia ambil bahkan dirinya harus rela menyamar dmenjadi ahjumma hanya demi mendapat foto idola yang tengah naik daun itu ke media terkenal seperti Dispatch. Bukan ke penerbit yang notabennya baru beberapa bulan berdiri, tapi sok jual mahal begini.

          “Begini Editor Kim, pembaca juga tak akan mencari tahu kamera apa yang digunakan untuk mengambil gambar ini. Yang mereka cari adalah berita dan faktanya. Lagi pula hanya aku satu-satunya yang berhasil mengambil gambar langka ini. Jadi kumohon Kim Sajangnim, bisakah kau menaikkan harganya ?” baiklah, mungkin dengan memohon gadis itu akan mendapat tawaran yang lebih besar.

          “Kau pikir kau satu-satunya?”

          Gadis itu hampir terpekik, saat Editor Kim mengeluarkan beberapa lembar foto dengan objek yang sama dengan yang dimilikinya. Ia bahkan bisa memprediksi jenis kamera yang digunakan untuk mengambil foto-foto itu. Akhirnya, niat untuk membawa hasil fotonya ke penerbit majalah terkenal luluh begitu saja.

          Namanya Yoo Ra Eun, seorang gadis berusia 17 tahun yang sangat tergila-gila dengan fotografi. Semenjak ia mendapat hadiah kamera berlabel tahun 2000-an pemberian ayahnya, Ra Eun mulai  menekuni dunia fotografi. Hingga sekarang, kamera itu seakan menjadi temannya, tak peduli komentar orang tentang kunonya kamera yang ia gunakan. Ra Eun tetap setia menggunakan lensa kamera itu untuk menangkap objek yang ia inginkan.

          Ra Eun bukanlah seorang paparazzi, sebenarnya dia masih berstatus sebagai anak yang memakai seragam sekolah Tourin School tahun kedua. Mengambil foto idola secara diam-diam demi dijual ke media bukanlah hal rutin baginya, hal itu tak lebih dari sekedar hobi dan tentunya karena ada timing yang tepat.

          “Aishhh.. padahal angle yang kuambil lebih bagus dari pada milik mereka, ini bukan masalah kualitas gambar tapi yang terpenting kontennya.” Ra Eun masih menggerutu sambil melangkah melewati jalanan Mong dong yang tampak sepi malam itu.

          Tiba di sebuah jalanan dekat taman, Ra Eun menghentikan langkahnya. Matanya menyipit melihat kea rah kumpulan pria bermotor yang nampak serius berbicara. Bukannya merasa takut, Ra Eun justru merasa penasaran pada salah satu  pria yang terasa tak asing baginya.

          “Yaa.. bukankah itu Ji Hoon, apa yang sedang ia lakukan dengan para gangster itu?”

          Sebuah ide terlintas di kepalanya, ia kemudian mengambil kamera dari dalam tasnya kemudian memfokuskan lensa tepat ke arah kumpulan pria itu  hingga terdengar bunyi klik beberapa kali  tanda bahwa kameranya telah menangkap momen yang cukup menarik.

          “Gotcha, kuharap Samchoen akan memberiku kupon daging gratis dengan ini.”

          Ra Eun kembali memasukkan kameranya, dengan smirk yang tercetak jelas di wajahnya ia meneruskan langkahnya. Tanpa ia sadari sepasang mata dengan tajam memperhatikannya dari jauh.


          Semester baru di Tourin School, momen yang seharusnya dipenuhi canda tawa justru terasa menegangkan bagi sebagian besar siswa. Semester baru, berarti penentuan nasib mereka selama enam bulan kedepan. Tourin School adalah salah satu sekolah yang sangat mementingkan kualitas dengan menerapkan sistem kasta kelas. Kelas A adalah kelas untuk siswa-siswa brilian, siswa yang memiliki kemampuan akademik dan masuk kedalam 1% peringkat atas sekolah, kelas yang membuat siswa lain setengah mati merasa iri. Bahkan membuat para orang tua siswa berlomba menghabiskan uang banyak untuk mengkursuskan anaknya demi mendapat bangku disana. Sebaliknya, kelas F adalah kelas yang berada pada kasta paling bawah, kelas yang paling dihindari siswa dan dikutuk para orang tua.

          “Raccoon-ah, kau sudah mendapatkan kelasmu?”

          Ra Eun yang sebenarnya sedikit kesal dipanggil dengan nama hewan berkaki pendek asal Amerika Utara oleh sahabatnya sendiri hanya bisa tersenyum dan menggeleng. Dia adalah Jung Chaeyeon, sahabat karib Ra Eun sejak duduk di bangku SMP.

          “Kajja, kita cari kelasku dulu” Chaeyeon menarik lengan Ra Eun, namun  tubuhnya tertahan karena Ra Eun tak sedikitpun beranjak.

          “Kelasmu?” Ra Eun mengernyit, ia nampak bingung dengan pola pikir sahabatnya itu.

          “Wae?”

          “Kau seperti tak ingin sekelas denganku.”

          “A..aniya, Ra Eun-ah, semalaman aku berdoa semoga namaku tidak termasuk di kelas F. bahkan malam tadi aku bermimpi kalau aku sekelas dengan Bae Ji Young. Bukankah Bae Ji Young ada di kelas B yang khusus untuk anak-anak berbakat.”

          “Memang di mimpimu bakat apa yang kau miliki?.”

          “I..itu, aishh, lupakan saja, sekarang ayo kita ke kelas B.”

          “Chaeyeon-ah, kau tak perlu ke sana, kelas kita ada di depan.” Ra Eun menaikkan dagunya menunjuk ke sebuah kelas yang berada tak jauh dari mereka. Kelas yang terlihat masih sepi, karena para siswa  lebih memilih untuk memeriksa nama mereka di kelas lain.

          “Mwo? Wae? Kita sekelas? Berarti aku ada di kelas…..”

          Chaeyeon itu tak melanjutkan kata-katanya, ia memilih untuk berlari dan melihat daftar nama yang sudah ditempel di depan kelas yang dengan cetakan huruf yang agak buram namun masih bisa dibaca, kelas F.

          “Kim Boram, Han Seul Gi, Yoo Ra Eun, Jung…Chae…Yeon…oh aniya-aniya, aku pasti bermimpi.”

          “Kau tidak bermimpi chingu-ya, semester baru, kelas baru, dan ….”

          “Mwo..??Andweeeee… Ra Eun-ah, aku tak ingin masuk kelas ini. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Appa akan lakukan jika dia mengetahuinya.”

          “Jung Chaeyeon, sekalipun Appa mu akan mengikatmu dengan kail pancing kesayangannya, kau tetap berada di kelas F. Kajja, kita cari bangku paling nyaman, aman dan strategis sebelum yang lain datang.”

~ ~ ~
          Ra Eun menghela nafas panjang, angin berhembus menerbangkan helaian rambutnya yang terikat. Ia berdiri termenung sambil melihat pemandangan di bawahnya dari lantai 3 gedung Tourin yang masih kosong. Ra Eun tidak sendirian, sebelumnya Chaeyeon bersama dengannya, namun ia pergi ke kantin untuk membeli beberapa cemilan. Ia bisa memahami betapa shocknya sahabatnya itu ketika untuk kedua kalinya ia menjadi siswa di kelas F. Ia tahu, Chaeyeon sangat takut dengan ayahnya yang selalu memberi ancaman jika ia berada di kelas F.

          Ra Eun tak ingin terlalu larut dalam pemikirannya, ia mengambil kamera kesayangannya, kemudian mengarahkan lensanya ke arah para siswa Tourin yang sedang menghabiskan waktu istirahat mereka di lapangan basket dan taman sekolah. Satu objek yang sedang berjalan di koridor kelas menarik perhatian Ra Eun. Dia adalah si nomor 1, Hwang Min Hyun. Ra Eun memutar perlahan zoom in pada kameranya, hingga tepat saat lensanya menangkap jelas ekspresi Min Hyun yang sedang tersenyum. Sangat manis, batin Ra Eun. Pantas saja banyak wanita yang menaruh hati padanya. Pria yang nyaris sempurna, tampan, cerdas, calon pewaris tunggal perusahaan ibunya, dan yang tak kalah penting adalah kepribadiannya yang ramah. Baru saja Ra Eun ingin mengambil fotonya, tiba-tiba objek lain mendekati Min Hyun. Seorang gadis berperawakan tinggi dengan wajah cantiknya, Jeon So Mi, siswa kelas A sekaligus putri ketua komite sekolah Tourin, orang yang paling disegani kepala sekolah dan dewan guru, karena ayahnya merupakan donator terbesar di Tourin School.

          Ra Eun memutar kembali kamera zoom outnya, hingga lensanya tak lagi menangkap satu objek, melainkan dua objek yang tengah bercengkrama ria. Klik, akhirnya Ra Eun mengambil sebuah foto. “Pasangan yang sempurna.” Ia tersenyum puas melihat hasil jepretannya. Hwang Min Hyun dan Jung Soomi memang dikabarkan memiliki hubungan khusus, mereka terlihat sering bersama, apalagi mereka termasuk siswa 1% peringkat atas Tourin School.

          Masih tersisa  5 menit lagi waktu istirahat, Ra Eun kembali mengangkat kameranya, kali ini ia mengarahkan lensanya ke arah timur bangunan sekolah, tepat di taman belakang. Namun kali ini bukan hanya lensa kameranya yang membesar, tapi pandangan matanya juga ikut menajam. Seorang siswa berseragam Tourin sedang berusaha memanjat tembok belakang sekolah.

 “Aishh, baru hari pertama anak itu sudah membuat masalah.” Tak tinggal diam, Ra Eun berkali-kali menekan tombol klik pada kamera untuk mendokumentasikan bukti autentik itu. Hingga detik berikutnya terdengar suara bel pelajaran selanjutnya.  Ra Eun kembali memasukkan kamera ke dalam tas kecil hitam dan berlari turun melawati tangga kembali ke kelasnya.
~ ~ ~
          Malam itu Ra Eun tengah memindahkan file foto yang seharian ini dia ambil ke dalam laptopnya. Ia kembali membuka satu persatu hasil jepretannya dan terhenti pada salah satu foto yang ia ambil dari atas gedung sekolah siang tadi.

          “Haruskah aku melaporkannya pada Ha Saem?” Ra Eun bergumam sendiri, ia menimbang-nimbang fikirannya untuk mencetak foto namja yang ia yakini adalah Park Ji Hoon yang tengah memanjat tembok belakang sekolah kemudian menyerahkannya kepada Guru Ha. Ditengah rasa bimbangnya, Ra Eun kembali teringat dengan kejadian pada semester tahun lalu, dimana ia pernah memergoki hal yang sama kemudian mengadukannya pada Nam saem, guru yang terkenal paling banyak memberi potongan poin kepada siswa. Namun Nam saem tak mempercayainya, bahkan menghubungankannya dengan rumor mistis. Jika dihitung, banyak sekali pelanggaran yang dilakukannya. Padahal Park Ji Hoon adalah siswa yang bermasalah, namun  entah kenapa keberuntungan selalu berpihak padanya.

          “Eomma pulang”

          Ra Eun segera bangkit dari kursi kamarnya dan berlari menuju ke ruang depan. Ibunya baru saja datang dari kantor dengan barang belanjaan yang cukup banyak.

          “Wah banyak sekali belanjaanmu Eomma, biar ku bantu”. Dengan gesit Ra Eun membawa bungkusan-bungkusan itu ke dapur. Dibalik langkahnya yang cepat, Ra Eun sebenarnya sedang mengkhawatirkan sesuatu.

          “Bagaimana sekolahmu Ra Eun-ah. Kau berada di kelas mana?”

          Benar saja, apa yang dikhawatirkannya terjadi. Ibunya pasti menanyakan perihal sekolah dan kelas barunya.

          “Ommo, eomma, aku lupa membeli daging saat pulang sekolah tadi.”

          “Apa? Bagaimana bisa kau lupa, eomma bahkan telah meninggalkan pesan di pintu kulkas.”

          “Hehe, maafkan aku eomma. Aku akan pergi ke kedai Park Ahjussi untuk membeli daging. Eomma masak saja dulu supnya” Ra Eun bergegas menuju kamarnya untuk mengambil jaket,  langkahnya terhenti saat melihat tas hitam kecil di atas meja kecil kamarnya, tanpa pikir panjang ia meraih tas itu dan bergegas keluar.

          ~ ~ ~
          Ra Eun menghela nafas lega, setidaknya malam ini ia tidak harus mendengar omelan ibunya karena ia kembali menjadi siswa kelas F.

          “Ahjussi, aku ingin membeli  setengah kilo daging.”

          “Oh Ra Eun-ah, sebentar.”

          Ra Eun memperhatikan sekeliling kedai daging yang telah menjadi langganan keluarganya sejak lama. Matanya tertuju pada beberapa bungkusan daging di atas meja.

          “Apa daging-daging itu pesananan pelanggan, ahjussi?”

          “Eoh, Iya Ra Eun-ah, aku masih menunggu So Jun untuk mengantarkannya.”

          Ra Eun mengangguk-angguk, mengingat So Jun adalah putra sulung Park Ahjussi yang sekarang tengah menjadi mahasiswa. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.

          “Apakah Ji Hoon juga tidak ada?” benar, Park Ji Hoon adalah putra bungsu Park Ahjussi. Itu lah mengapa Ra Eun bisa mengenal dirinya bahkan sebelum menjadi siswa Tourin.

          “Sepertinya dia ada acara dengan teman-temannya.”

          “Ishh, anak itu.” Ra Eun bergumam, “Ahjussi, biar aku saja yang mengantarkan pesanannya.”

          “Benarkah, apa tak merepotkanmu?” Ra Eun menggeleng.

          “Baiklah, aku akan memberimu tambahan daging gratis karena kau telah berbaik hati mau mengantarkan pesanan itu. Ahh ya, ini kunci kendaraannya”

          Park Ahjussi memberikan kunci kendaraan skuter yang biasa ia pakai untuk mengatarkan pesanan daging kepada pelanggan.

          “Gwenchana, ahjussi, kau tak perlu membalasnya. Kalau begitu aku pergi dulu.”
          “Hati-hati di jalan Ra Eun-ah”
~ ~ ~
          Suasana kota cukup ramai malam itu, Ra Eun menarik nafasnya dalam, menikmati angin malam yang cukup dingin namun terasa menyegarkan. 3 bungkus daging telah ia antarkan pada pelanggan Park Ahjussi. Sebenarnya Ra Eun membawa kameranya sebelum pergi tadi, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, atau setidaknya ia bisa mengulur waktu sebelum ia terlibat perdebatan tentang kelas lagi dengan ibunya.

 Sambil memutar gas perlahan, pandangannya terus beredar melihat sekelilingnya, mencari objek yang bagus untuk menambah koleksi fotonya. Sebuah taman air mancur yang terbias lampu sorot berwarna-warni membuat Ra Eun menghentikan skuternya. Setelah memarkirkannya, Ra Eun segera menuju taman air mancur itu sambil membawa kamera. Ia mencari posisi yang tepat kemudian mengarahkan lensa kamera ke arah objek yang tepat kemudian mengambil gambar beberapa kali. Seorang anak kecil yang sedang asik bermain air dengan ayahnya di taman air mancur itu tak luput dari lensa kamera Ra Eun. Momen bahagia mereka justru mengingatkan Ra Eun pada seseorang yang sangat ia rindukan, seseorang yang begitu ia sayangi namun harus pergi meninggalkannya tepat saat ia berusia 10 tahun.

Jam tangan Ra Eun sudah menunjukkan pukul 22.15 KST, ibunya pasti khawatir jika ia pergi terlalu lama. Baru saja Ra Eun ingin mengakhiri hobinya, tiba-tiba dari kejauhan ia melihat seorang yang cukup ia kenal berjalan keluar dari sebuah club malam.

“Bukankah itu Sora?” Gumam Ra Eun yang cukup terkejut, mengingat Sora masih berstatus anak sekolah, lebih tepatnya sama seperti dirinya, siswa Tourin. Bukankah anak dibawah umur tidak diperbolehkan untuk masuk ke tempat semacam itu.

Detik berikutnya, gadis yang diyakini Ra Eun adalah Sora itu melihat ke arahnya. Ia pun nampak terkejut dengan keberadaan Ra Eun dan segera memalingkan wajahnya kemudian memanggil sebuah taksi. Ra Eun yang menyadari itu berusaha untuk memanggil namun Sora terlebih dulu telah masuk ke dalam taksi.

“Baiklah, ini bukan urusanmu Ra Eun-ah.” Ra Eun mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Ra Eun  mencoba menganggap bahwa ia tak pernah melihatnya, karena dirinya bukanlah tipe yang akan mengumbar berita yang belum jelas faktanya.

Baru saja Ra Eun berniat ingin meninggalkan tempat itu, kini ia harus menghadapi masalah lain. Skuter yang ia bawa tidak mau hidup, ia bahkan telah berkali-kali menekan tombol starter dan menggunakan pedal gas. Sialnya lagi, ia lupa membawa ponsel. Awalnya ia berniat membawa skuternya ke bengkel terdekat, namun dari informasi yang ia dapat, bengkel terdekat tersebut hanya buka sampai sore hari. Akhirnya Ra Eun memilih untuk duduk di bangku taman air mancur, mungkin saja ada orang lain yang bisa membantunya.

“Ah, aku ngantuk sekali.” Ra Eun menguap kemudian menggosok matanya yang terasa berat, hingga sebuah cahaya lampu dan suara berat kendaraan motor mendekatinya.

“Yaa..Yoo Ra Eun, mwohanengeoya?”

Sebuah suara tak asing membuat Ra Eun membuka matanya , “Kim Jaehwan.” Seru Ra Eun kemudian berdiri dari duduknya setelah mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Jae Hwan, teman sekelas Ra Eun. Tapi tunggu, Jaehwan tidak sendiri, ia sedang di bonceng oleh seorang pria. Ra Eun lalu mencondongkan badannya kearah pria yang sedang memegang kemudi motor dan mengenakan helm dengan kaca tertutup.

“Oo, Ji Hoon.” Pekik Ra Eun.

          Ji Hoon lalu membuka kaca helmnya dan menatap Ra Eun kemudian melihat ke arah skuter yang terparkir di dekatnya.

          “Mogok?”

          “Eoh, aku sudah mencoba menekan tombol starternya berkali-kali, bahkan menggunakan pedal gas. Tapi tidak berhasil.”

          “Jaehwan-ah, berikan helm itu kepadanya.”

          “Wae?”Jaehwan nampak bingung dengan perintah Ji Hoon.

          “Aku akan mengatarnya pulang. Kau tunggu disini. Aku akan segera kembali.”

          “Arraseo.” Jae hwan lalu turun dari motor Ji Hoon dan menyerahkan helmnya kepada Ra Eun. Dengan ragu Ra Eun memasang helm itu.

          “Naiklah.” Perintah Ji Hoon masih dengan tatapan dinginnya.

          Tanpa berkata-kata lagi Ra Eun segera naik ke motor Ji Hoon.

          “Kau tak akan lama kan?” Tanya Jaehwan kembali, ekspresi wajahnya seperti menunjukkan tak rela jika ditinggal JI Hoon.

          “Chal Isseo Jaehwan-ah.” Ra Eun melambai tangannya pada Jae Hwan, Jae Hwan pun membalasnya masih dengan ekspresi yang sama, apa dia telah mengganggu kencan para pria ini. Entahlah, Ji Hoon dan Jae Hwan memang terkenal bersahabat dekat, mereka seperti ditakdirkan untuk selalu satu sekolah bahkan satu kelas.
~ ~ ~
          Selama perjalanan tak ada satupun dari mereka yang mengelurakan suara. Ji Hoon memacu kendaraannya dengan cukup cepat, membuat Ra Eun mau tak mau berpegangan erat walau hanya pada jaketnya saja. Ini adalah pertama kalinya Ra Eun naik kendaraan bersama Ji Hoon. Sebenarnya mereka tidak terlalu dekat, Ra Eun sendiri mengenal Ji Hoon sejak ia dan keluarganya pindah dan membuka kedai daging di dekat rumahnya. Namun pribadi Ji Hoon yang dingin membuatnya sulit untuk di dekati. Hingga mereka satu sekolah dan berada di kelas yang sama pun, tak pernah ada pembicaraan panjang dan akrab layaknya Ra Eun dan siswa lainnya.

Tak terasa menit berlalu, hingga  mereka tiba di depan pagar rumah Ra Eun. Ra Eun segera turun dan melepas helm kemudian merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

          “Gomawo.” Ji Hoon hanya menanggapinya dengan dehaman tanpa melihat ke arah Ra Eun.

          “Aku melihatmu membolos saat isitirahat pertama, kau memanjat tembok belakang sekolah kan?” kali ini pertanyaan Ra Eun berhasil membuat Ji Hoon melihat ke arahnya.

          “Kau mau mengadukannya?” bukannya menjawab, Ji Hoon justru menjawabnya dengan pertanyaan.

          “Asalkan kau tak terlalu sering mengulangnya, aku akan tetap menjaga bukti autentiknya.” Ra Eun mengancungkan telunjuk jarinya seakan dia berjanji.

          Tak ada respon berarti, Ji Hoon hanya mengendikkan bahunya dan menyalakan kendaraannya, kemudian pergi meninggalkan Ra Eun.

          “Tskkk, tingkah lakunya benar-benar tak tergambar di wajahnya.” Gumam Ra Eun sambil melihat kepergian Ji Hoon. Memang, Ji Hoon memiliki wajah yang manis dan membuat orang yang pertama bertemu dengannya akan berasumsi bahwa dia adalah seorang yang ramah, namun justru hal itu berbanding terbalik dengan sikap dinginnya.

          ~ ~ ~
          “Kalau kau bisa menangkap senyumnya yang manis, aku akan mentraktirmu jajangmyoen setelah pulang sekolah nanti.” Sebuah tantangan dari Chaeyeon membuat Ra Eun semakin semangat mengarahkan kameranya kepada pria tinggi dengan mata menawan yang sedang memainkan bola basket di lapangan tengah. Bae Jin Young, ketua OSIS Tourin School dan masuk ke dalam kelas B karena bakatnya sebagai pemain basket dan sering menjadi perwakilan sekolah dalam berbagai turnamen. Pria yang berhasil mencuri perhatian sahabatnya sejak mereka duduk di bangku tahun pertama.

          Istirahat pertama memang sering diahabiskan Ra Eun dan Chaeyeon di lantai 3 gedung sekolah Tourin. Chaeyeon dengan setia menemani Ra Eun menekuni hobinya itu, bahkan ia rela untuk tidak berkumpul di kantin seperti siswa lainnya. Mereka masih larut dalam tawa canda hingga tak menyadari sebuah langkah cepat dengan hentakan kaki yang penuh amarah sedang menapaki satu persatu tangga menuju lantai tepat mereka berada. Hingga Sebuah tangan membalik bahu Ra Eun dengan kasar, membuat dirinya terkejut memandang wajah memerah dengan nafas yang tak beraturan.

          “Kau kan?” Sora menatap tajam ke arah Ra Eun.

          “Cho..chogi, aku tak faham maksudmu.”Ra Eun mencoba memahami situasi yang terjadi, namun ia tak bisa.

          “Jangan berpura-pura, kau kan yang mengambil fotoku malam tadi dan menyebarkannya?”

          Pertanyaan So Ra membuat Ra Eun menyadari apa yang dimaksudkannya, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Na Aniya

          “Gojitmal” masih diliputi dengan bara amarah, So Ra merebut paksa kamera yang ada di tangan Ra Eun. Ra Eun yang terkejut dengan tindakan So Ra mencoba mepertahankan kameranya namun tak berhasil hingga kamera itu terlepas dari tangannya dan terlempar jatuh ke lantai paling bawah. Chaeyeon yang melihat kejadian itu terkejut dan menutup mulutnya, sedangkan Ra Eun dengan mata berkaca-kaca menatap ke arah Sora seakan meminta penjelasan apa maksud dari perbuatannya barusan.

          “Kau pantas mendapatkannya.” Ucapan kasar dan penuh penekanan dari mulut Sora itu membuat genangan air di mata Ra Eun semakin bertambah. Ia segera berlari ke lantai bawah diikuti Chaeyeon yang sekilas memandang sinis kea rah Sora.

          Dengan langkah cepat Ra Eun menuruni tangga satu persatu, hingga langkah kakinya membawa pada kerumunan siswa di lantai bawah.

          “Oh, an..andwee” Ra Eun memandang tak percaya pada kameranya yang terbelah dua dengan beberapa kabel yang masih terhubung, bahkan lensanya ikut pecah. Dengan tangan bergetar ia mengangkat kamera pemberian ayahnya yang selama ini  ia sayangi dan jaga. Sekilas memori saat pertama kali Ayahnya memberi kamera itu sebagai hadiah ulang tahun terlintas begitu saja di ingatannya. Akhirnya tangis Ra Eun pecah sambil memeluk erat kameranya, tak peduli dengan tatapan para siswa yang berkerumun mengelilinginya.

~ ~ ~
         
          Pria paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat kondisi kamera Ra Eun. Sepulang sekolah, Ra Eun memutuskan untuk membawa kameranya ke tempat servis alat elektronik ditemani Chaeyeon. Sudah beberapa tempat servis mereka datangi, namun tidak satupun dari mereka yang mampu memperbaikinya.

          “Ini benar-benar rusak parah dan tak mungkin diperbaiki lagi.”

          “Apakah benar-benar tidak bisa diusahakan?”

          “Ini kamera jenis lama, perangkatnya pun langka. Lebih baik kau  menabung untuk membeli yang baru.”

          Lagi, Ra Eun mendapat jawaban yang hampir sama dengan tempat sebelumnya. Chaeyeon yang melihat kondisi Ra Eun hanya bisa mengelus pundak sahabatnya, mencoba memberi kekuatan walaupun ia tahu Ra Eun masih tenggelam dalam kesedihannya.

          “Ra Eun-ah, lebih baik kau pulang untuk istirahat dan menenangkan fikiranmu. Dan lagi, kau tak perlu memikirkan masalah Sora. Aku yakin kau bukanlah orangnya. Sebagai sahabatmu, aku akan menjadi orang terdepan yang akan membelamu.”

          Setidaknya perkataan Chaeyeon mampu membuat sedikit senyuman di wajah Ra Eun.

          “Gomawo Chaeyeon-ah. Kau memang sahabat yang baik.”

          “Oh, bisnya sudah datang. Ra Eun-ah aku pergi dulu. Oh ya, air matamu cukup aku yang terakhir melihatnya. Setelah ini pulanglah dengan tenang dan jangan lupa untuk makan. Kau bisa meneleponku malam ini jika kau kesepian.” Chaeyeon memegang erat tangan Ra Eun sebelum akhirnya ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam bis.

          Setelah kepergian Chaeyeon, Ra Eun tak beranjak dari halte karena ia menunggu bis berikutnya. Rumah bukan tujuan saat ini,  namun ada tempat yang benar-benar ingin kunjungi.

          ~~~
          Awan kelabu semakin mengumpul di langit menjelang sore itu, udara dingin mulai menyapa kulit. Ra Eun yang baru saja tiba di tempat pemakaman ayahnya membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan. Kemudian duduk di dekat palang nama bertuliskan Yoo Shin Ji. Mengamati rerumputan sekitar yang ikut bergoyang bersama rambutnya yang diterpa angin.

          “Bagaimana kabarmu Appa? Maaf lama tak mengunjungi mu. Aku, Eomma, dan Soo Ji sehat-sehat saja. Oh ya, akhir-akhir ini eomma selalu pulang larut malam karena pekerjaannya yang banyak. Dia benar-benar bekerja keras untuk kami.” Sapaan pertama Ra Eun terdengar berbaur dengan suara gesekan rumput yang semakin keras karena tiupan angin.

          “Appa, apa kau masih ingat saat ulang tahunku yang ke 10, kau memberiku hadiah yang bahkan aku sendiri tak menyangkanya. Kamera ini, benar-benar berarti untukku, bahkan sejak Appa pergi, kamera ini lah yang menjadi temanku.” Ra Eun menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

          “Aku berjanji akan terus menjaga dan merawatnya, aku bahkan tak peduli dengan komentar orang tentang kamera ini. Keureonde Appa,  mi…an…jongmal..mianhae….” suara Ra Eun mulai bergetar seiring bertambahnya genangan air di matanya.

          “Appa,…aku benar-benar ceroboh, hikks..a..aku telah merusak hadiah paling berharga ini…hiksssss…Appa maafkan aku”

          Ra Eun tak mampu lagi membendung tangisnya. Ia bahkan tak menyadari tetesan hujan yang mulai ikut turun membasahi pipinya, berbaur dengan air matanya yang kian deras. Janjinya pada Chaeyeon untuk berhenti menangis harus teringkari. Isakannya telah berganti dengan raungan keras. Kamera yang bernasib malang itu dipeluknya semakin erat. Hanya kata Appa mianhae yang terus terulang dari bibir gadis remaja itu.  Hujan pun  turun semakin deras seakan mengerti dan mengikuti kesedihan Ra Eun.
                    
Modeun ge heundeullyeo boyoe  
Nae nunen han eopsi bigawa
Guruemdo han jeom eomneun
Haedsal jeon jeom eomneun
Wae nin bigawa?
                                               Semuanya tampak buram
                                   Hujan tanpa henti di mataku
                                               Meskipun tanpa Awan,
                                               Hari yang cerah
                                               Kenapa hujan untukku?
                  
-          Ahn Hyun Jung “Rain” -