Tittle
|
:
|
The TEEN-ACE
(Chapter 1)
|
Casts
|
:
|
Yoo Ra Eun (OC)
|
Kim Sohye (IOI)
|
||
Park Ji Hoon (Wanna
One)
|
||
Hwang Min Hyun (Wanna
One)
|
||
Jeon So Mi
(IOI)
|
||
Jung Chaeyeon (IOI)
|
||
Kim Jae Hwan
(Wanna One)
|
||
Ha Seok Jin
(Actor)
|
||
Author
|
:
|
Shin Eun So / @Nugichan (wattpad)
|
Genre
|
:
|
School, Romance
|
Length
|
:
|
Multi Chapter
|
Ratting
|
:
|
General
|
Komentar
dan Saran adalah pupuk semangat bagi author.
No
Copy No Plagiator. Typo Everywhere. Enjoy Reading !
“Being a teenager means dealing with school, parents, freedoom, love and sacrifice”
“Jadi…. Bagaimana?” gadis itu
kembali bertanya pada pria yang kini tengah sibuk menggosok-gosok dagunya
sambil memandang selembar foto yang ada di depannya.
“5 won”
“Ye? ba…bagaimana bisa semurah itu.
Editor Kim, apa kau tak yakin dengan foto yang ku ambil. Ini benar-benar Kang
Daniel” Jelas Nampak raut kecewa di wajah gadis itu. Yang pasti ia merasa harga
yang ditawarkan tak sepadan dengan usahanya.
“Aku tau ini Kang Daniel, tapi coba
lihat kualitas gambar yang kau ambil. Ini benar-benar di bawah standar. Memang
kamera jenis apa yang kau gunakan, huh?”
Gadis itu terdiam sejenak, kemudian
menarik nafas dalam. Ia sedikit menyesal, seharusnya ia membawa langsung gambar
yang telah susah payah ia ambil bahkan dirinya harus rela menyamar dmenjadi
ahjumma hanya demi mendapat foto idola yang tengah naik daun itu ke media
terkenal seperti Dispatch. Bukan ke penerbit yang notabennya baru
beberapa bulan berdiri, tapi sok jual mahal begini.
“Begini Editor Kim, pembaca juga tak
akan mencari tahu kamera apa yang digunakan untuk mengambil gambar ini. Yang
mereka cari adalah berita dan faktanya. Lagi pula hanya aku satu-satunya yang
berhasil mengambil gambar langka ini. Jadi kumohon Kim Sajangnim, bisakah kau
menaikkan harganya ?” baiklah, mungkin dengan memohon gadis itu akan mendapat
tawaran yang lebih besar.
“Kau pikir kau satu-satunya?”
Gadis itu hampir terpekik, saat Editor
Kim mengeluarkan beberapa lembar foto dengan objek yang sama dengan yang
dimilikinya. Ia bahkan bisa memprediksi jenis kamera yang digunakan untuk
mengambil foto-foto itu. Akhirnya, niat untuk membawa hasil fotonya ke penerbit
majalah terkenal luluh begitu saja.
Namanya Yoo Ra Eun, seorang gadis
berusia 17 tahun yang sangat tergila-gila dengan fotografi. Semenjak ia
mendapat hadiah kamera berlabel tahun 2000-an pemberian ayahnya, Ra Eun mulai menekuni dunia fotografi. Hingga sekarang,
kamera itu seakan menjadi temannya, tak peduli komentar orang tentang kunonya
kamera yang ia gunakan. Ra Eun tetap setia menggunakan lensa kamera itu untuk
menangkap objek yang ia inginkan.
Ra Eun bukanlah seorang paparazzi,
sebenarnya dia masih berstatus sebagai anak yang memakai seragam sekolah Tourin
School tahun kedua. Mengambil foto idola secara diam-diam demi dijual ke media
bukanlah hal rutin baginya, hal itu tak lebih dari sekedar hobi dan tentunya
karena ada timing yang tepat.
“Aishhh.. padahal angle yang
kuambil lebih bagus dari pada milik mereka, ini bukan masalah kualitas gambar
tapi yang terpenting kontennya.” Ra Eun masih menggerutu sambil melangkah
melewati jalanan Mong dong yang tampak sepi malam itu.
Tiba di sebuah jalanan dekat taman, Ra
Eun menghentikan langkahnya. Matanya menyipit melihat kea rah kumpulan pria
bermotor yang nampak serius berbicara. Bukannya merasa takut, Ra Eun justru
merasa penasaran pada salah satu pria
yang terasa tak asing baginya.
“Yaa.. bukankah itu Ji Hoon, apa yang
sedang ia lakukan dengan para gangster itu?”
Sebuah ide terlintas di kepalanya, ia
kemudian mengambil kamera dari dalam tasnya kemudian memfokuskan lensa tepat ke
arah kumpulan pria itu hingga terdengar
bunyi klik beberapa kali tanda bahwa kameranya
telah menangkap momen yang cukup menarik.
“Gotcha, kuharap Samchoen akan
memberiku kupon daging gratis dengan ini.”
Ra Eun kembali memasukkan kameranya,
dengan smirk yang tercetak jelas di wajahnya ia meneruskan langkahnya. Tanpa ia
sadari sepasang mata dengan tajam memperhatikannya dari jauh.
Semester baru di Tourin School, momen
yang seharusnya dipenuhi canda tawa justru terasa menegangkan bagi sebagian
besar siswa. Semester baru, berarti penentuan nasib mereka selama enam
bulan kedepan. Tourin School adalah salah satu sekolah yang sangat mementingkan
kualitas dengan menerapkan sistem kasta kelas. Kelas A adalah kelas untuk
siswa-siswa brilian, siswa yang memiliki kemampuan akademik dan masuk kedalam
1% peringkat atas sekolah, kelas yang membuat siswa lain setengah mati merasa
iri. Bahkan membuat para orang tua siswa berlomba menghabiskan uang banyak
untuk mengkursuskan anaknya demi mendapat bangku disana. Sebaliknya, kelas F
adalah kelas yang berada pada kasta paling bawah, kelas yang paling dihindari
siswa dan dikutuk para orang tua.
“Raccoon-ah, kau sudah mendapatkan
kelasmu?”
Ra Eun yang sebenarnya sedikit kesal
dipanggil dengan nama hewan berkaki pendek asal Amerika Utara oleh sahabatnya
sendiri hanya bisa tersenyum dan menggeleng. Dia adalah Jung Chaeyeon, sahabat
karib Ra Eun sejak duduk di bangku SMP.
“Kajja, kita cari kelasku dulu” Chaeyeon
menarik lengan Ra Eun, namun tubuhnya
tertahan karena Ra Eun tak sedikitpun beranjak.
“Kelasmu?” Ra Eun mengernyit, ia
nampak bingung dengan pola pikir sahabatnya itu.
“Wae?”
“Kau seperti tak ingin sekelas
denganku.”
“A..aniya, Ra Eun-ah, semalaman aku
berdoa semoga namaku tidak termasuk di kelas F. bahkan malam tadi aku bermimpi
kalau aku sekelas dengan Bae Ji Young. Bukankah Bae Ji Young ada di kelas B
yang khusus untuk anak-anak berbakat.”
“Memang di mimpimu bakat apa yang kau
miliki?.”
“I..itu, aishh, lupakan saja, sekarang
ayo kita ke kelas B.”
“Chaeyeon-ah, kau tak perlu ke sana,
kelas kita ada di depan.” Ra Eun menaikkan dagunya menunjuk ke sebuah kelas
yang berada tak jauh dari mereka. Kelas yang terlihat masih sepi, karena para
siswa lebih memilih untuk memeriksa nama
mereka di kelas lain.
“Mwo? Wae? Kita sekelas? Berarti aku
ada di kelas…..”
Chaeyeon itu tak melanjutkan
kata-katanya, ia memilih untuk berlari dan melihat daftar nama yang sudah
ditempel di depan kelas yang dengan cetakan huruf yang agak buram namun masih
bisa dibaca, kelas F.
“Kim Boram, Han Seul Gi, Yoo Ra Eun,
Jung…Chae…Yeon…oh aniya-aniya, aku pasti bermimpi.”
“Kau tidak bermimpi chingu-ya, semester
baru, kelas baru, dan ….”
“Mwo..??Andweeeee… Ra Eun-ah, aku tak
ingin masuk kelas ini. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Appa akan lakukan jika
dia mengetahuinya.”
“Jung Chaeyeon, sekalipun Appa mu akan
mengikatmu dengan kail pancing kesayangannya, kau tetap berada di kelas F. Kajja,
kita cari bangku paling nyaman, aman dan strategis sebelum yang lain datang.”
~
~ ~
Ra Eun menghela nafas panjang, angin
berhembus menerbangkan helaian rambutnya yang terikat. Ia berdiri termenung sambil
melihat pemandangan di bawahnya dari lantai 3 gedung Tourin yang masih kosong. Ra
Eun tidak sendirian, sebelumnya Chaeyeon bersama dengannya, namun ia pergi ke
kantin untuk membeli beberapa cemilan. Ia bisa memahami betapa shocknya
sahabatnya itu ketika untuk kedua kalinya ia menjadi siswa di kelas F. Ia tahu,
Chaeyeon sangat takut dengan ayahnya yang selalu memberi ancaman jika ia berada
di kelas F.
Ra Eun tak ingin terlalu larut dalam
pemikirannya, ia mengambil kamera kesayangannya, kemudian mengarahkan lensanya
ke arah para siswa Tourin yang sedang menghabiskan waktu istirahat mereka di
lapangan basket dan taman sekolah. Satu objek yang sedang berjalan di koridor
kelas menarik perhatian Ra Eun. Dia adalah si nomor 1, Hwang Min Hyun. Ra Eun
memutar perlahan zoom in pada kameranya, hingga tepat saat lensanya menangkap
jelas ekspresi Min Hyun yang sedang tersenyum. Sangat manis, batin Ra Eun.
Pantas saja banyak wanita yang menaruh hati padanya. Pria yang nyaris sempurna,
tampan, cerdas, calon pewaris tunggal perusahaan ibunya, dan yang tak kalah
penting adalah kepribadiannya yang ramah. Baru saja Ra Eun ingin mengambil
fotonya, tiba-tiba objek lain mendekati Min Hyun. Seorang gadis berperawakan
tinggi dengan wajah cantiknya, Jeon So Mi, siswa kelas A sekaligus putri ketua
komite sekolah Tourin, orang yang paling disegani kepala sekolah dan dewan
guru, karena ayahnya merupakan donator terbesar di Tourin School.
Ra Eun memutar kembali kamera zoom
outnya, hingga lensanya tak lagi menangkap satu objek, melainkan dua objek yang
tengah bercengkrama ria. Klik, akhirnya Ra Eun mengambil sebuah foto. “Pasangan
yang sempurna.” Ia tersenyum puas melihat hasil jepretannya. Hwang Min Hyun dan
Jung Soomi memang dikabarkan memiliki hubungan khusus, mereka terlihat sering
bersama, apalagi mereka termasuk siswa 1% peringkat atas Tourin School.
Masih tersisa 5 menit lagi waktu istirahat, Ra Eun kembali
mengangkat kameranya, kali ini ia mengarahkan lensanya ke arah timur bangunan
sekolah, tepat di taman belakang. Namun kali ini bukan hanya lensa kameranya
yang membesar, tapi pandangan matanya juga ikut menajam. Seorang siswa
berseragam Tourin sedang berusaha memanjat tembok belakang sekolah.
“Aishh, baru hari pertama anak itu sudah
membuat masalah.” Tak tinggal diam, Ra Eun berkali-kali menekan tombol klik
pada kamera untuk mendokumentasikan bukti autentik itu. Hingga detik berikutnya
terdengar suara bel pelajaran selanjutnya.
Ra Eun kembali memasukkan kamera ke dalam tas kecil hitam dan berlari
turun melawati tangga kembali ke kelasnya.
~ ~ ~
Malam itu Ra Eun tengah memindahkan
file foto yang seharian ini dia ambil ke dalam laptopnya. Ia kembali membuka
satu persatu hasil jepretannya dan terhenti pada salah satu foto yang ia ambil
dari atas gedung sekolah siang tadi.
“Haruskah aku melaporkannya pada Ha Saem?” Ra Eun bergumam sendiri, ia menimbang-nimbang fikirannya untuk mencetak
foto namja yang ia yakini adalah Park Ji Hoon yang tengah memanjat tembok
belakang sekolah kemudian menyerahkannya kepada Guru Ha. Ditengah rasa
bimbangnya, Ra Eun kembali teringat dengan kejadian pada semester tahun lalu,
dimana ia pernah memergoki hal yang sama kemudian mengadukannya pada Nam saem,
guru yang terkenal paling banyak memberi potongan poin kepada siswa. Namun Nam
saem tak mempercayainya, bahkan menghubungankannya dengan rumor mistis. Jika
dihitung, banyak sekali pelanggaran yang dilakukannya. Padahal Park Ji Hoon
adalah siswa yang bermasalah, namun entah kenapa keberuntungan selalu berpihak
padanya.
“Eomma pulang”
Ra Eun segera bangkit dari kursi
kamarnya dan berlari menuju ke ruang depan. Ibunya baru saja datang dari kantor
dengan barang belanjaan yang cukup banyak.
“Wah banyak sekali belanjaanmu Eomma,
biar ku bantu”. Dengan gesit Ra Eun membawa bungkusan-bungkusan itu ke dapur.
Dibalik langkahnya yang cepat, Ra Eun sebenarnya sedang mengkhawatirkan
sesuatu.
“Bagaimana sekolahmu Ra Eun-ah. Kau
berada di kelas mana?”
Benar saja, apa yang dikhawatirkannya
terjadi. Ibunya pasti menanyakan perihal sekolah dan kelas barunya.
“Ommo, eomma, aku lupa membeli daging
saat pulang sekolah tadi.”
“Apa? Bagaimana bisa kau lupa, eomma
bahkan telah meninggalkan pesan di pintu kulkas.”
“Hehe, maafkan aku eomma. Aku akan
pergi ke kedai Park Ahjussi untuk membeli daging. Eomma masak saja dulu supnya”
Ra Eun bergegas menuju kamarnya untuk mengambil jaket, langkahnya terhenti saat melihat tas hitam
kecil di atas meja kecil kamarnya, tanpa pikir panjang ia meraih tas itu dan
bergegas keluar.
~ ~ ~
Ra Eun menghela nafas lega, setidaknya
malam ini ia tidak harus mendengar omelan ibunya karena ia kembali menjadi
siswa kelas F.
“Ahjussi, aku ingin membeli setengah kilo daging.”
“Oh Ra Eun-ah, sebentar.”
Ra Eun memperhatikan sekeliling kedai
daging yang telah menjadi langganan keluarganya sejak lama. Matanya tertuju
pada beberapa bungkusan daging di atas meja.
“Apa daging-daging itu pesananan
pelanggan, ahjussi?”
“Eoh, Iya Ra Eun-ah, aku masih
menunggu So Jun untuk mengantarkannya.”
Ra Eun mengangguk-angguk, mengingat So
Jun adalah putra sulung Park Ahjussi yang sekarang tengah menjadi mahasiswa.
Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Apakah Ji Hoon juga tidak ada?”
benar, Park Ji Hoon adalah putra bungsu Park Ahjussi. Itu lah mengapa Ra Eun bisa
mengenal dirinya bahkan sebelum menjadi siswa Tourin.
“Sepertinya dia ada acara dengan
teman-temannya.”
“Ishh, anak itu.” Ra Eun bergumam,
“Ahjussi, biar aku saja yang mengantarkan pesanannya.”
“Benarkah, apa tak merepotkanmu?” Ra
Eun menggeleng.
“Baiklah, aku akan memberimu tambahan
daging gratis karena kau telah berbaik hati mau mengantarkan pesanan itu. Ahh
ya, ini kunci kendaraannya”
Park Ahjussi memberikan kunci
kendaraan skuter yang biasa ia pakai untuk mengatarkan pesanan daging kepada
pelanggan.
“Gwenchana, ahjussi, kau tak perlu
membalasnya. Kalau begitu aku pergi dulu.”
“Hati-hati di jalan Ra Eun-ah”
~
~ ~
Suasana kota cukup ramai malam itu, Ra
Eun menarik nafasnya dalam, menikmati angin malam yang cukup dingin namun
terasa menyegarkan. 3 bungkus daging telah ia antarkan pada pelanggan Park
Ahjussi. Sebenarnya Ra Eun membawa kameranya sebelum pergi tadi, ia tak mau
menyia-nyiakan kesempatan ini, atau setidaknya ia bisa mengulur waktu sebelum
ia terlibat perdebatan tentang kelas lagi dengan ibunya.
Sambil memutar gas perlahan, pandangannya
terus beredar melihat sekelilingnya, mencari objek yang bagus untuk menambah
koleksi fotonya. Sebuah taman air mancur yang terbias lampu sorot berwarna-warni
membuat Ra Eun menghentikan skuternya. Setelah memarkirkannya, Ra Eun segera
menuju taman air mancur itu sambil membawa kamera. Ia mencari posisi yang tepat
kemudian mengarahkan lensa kamera ke arah objek yang tepat kemudian mengambil
gambar beberapa kali. Seorang anak kecil yang sedang asik bermain air dengan ayahnya
di taman air mancur itu tak luput dari lensa kamera Ra Eun. Momen bahagia
mereka justru mengingatkan Ra Eun pada seseorang yang sangat ia rindukan,
seseorang yang begitu ia sayangi namun harus pergi meninggalkannya tepat saat
ia berusia 10 tahun.
Jam tangan Ra Eun sudah
menunjukkan pukul 22.15 KST, ibunya pasti khawatir jika ia pergi terlalu lama.
Baru saja Ra Eun ingin mengakhiri hobinya, tiba-tiba dari kejauhan ia melihat
seorang yang cukup ia kenal berjalan keluar dari sebuah club malam.
“Bukankah itu Sora?” Gumam Ra
Eun yang cukup terkejut, mengingat Sora masih berstatus anak sekolah, lebih
tepatnya sama seperti dirinya, siswa Tourin. Bukankah anak dibawah umur tidak
diperbolehkan untuk masuk ke tempat semacam itu.
Detik berikutnya, gadis yang
diyakini Ra Eun adalah Sora itu melihat ke arahnya. Ia pun nampak terkejut dengan
keberadaan Ra Eun dan segera memalingkan wajahnya kemudian memanggil sebuah
taksi. Ra Eun yang menyadari itu berusaha untuk memanggil namun Sora terlebih
dulu telah masuk ke dalam taksi.
“Baiklah, ini bukan urusanmu Ra
Eun-ah.” Ra Eun mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Ra Eun mencoba menganggap bahwa ia tak pernah
melihatnya, karena dirinya bukanlah tipe yang akan mengumbar berita yang belum
jelas faktanya.
Baru saja Ra Eun berniat ingin
meninggalkan tempat itu, kini ia harus menghadapi masalah lain. Skuter yang ia
bawa tidak mau hidup, ia bahkan telah berkali-kali menekan tombol starter dan
menggunakan pedal gas. Sialnya lagi, ia lupa membawa ponsel. Awalnya ia berniat
membawa skuternya ke bengkel terdekat, namun dari informasi yang ia dapat,
bengkel terdekat tersebut hanya buka sampai sore hari. Akhirnya Ra Eun memilih
untuk duduk di bangku taman air mancur, mungkin saja ada orang lain yang bisa
membantunya.
“Ah, aku ngantuk sekali.” Ra
Eun menguap kemudian menggosok matanya yang terasa berat, hingga sebuah cahaya
lampu dan suara berat kendaraan motor mendekatinya.
“Yaa..Yoo Ra Eun, mwohanengeoya?”
Sebuah suara tak asing membuat
Ra Eun membuka matanya , “Kim Jaehwan.” Seru Ra Eun kemudian berdiri dari
duduknya setelah mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Jae Hwan, teman
sekelas Ra Eun. Tapi tunggu, Jaehwan tidak sendiri, ia sedang di bonceng oleh seorang
pria. Ra Eun lalu mencondongkan badannya kearah pria yang sedang memegang
kemudi motor dan mengenakan helm dengan kaca tertutup.
“Oo, Ji Hoon.” Pekik Ra Eun.
Ji Hoon lalu membuka kaca helmnya dan
menatap Ra Eun kemudian melihat ke arah skuter yang terparkir di dekatnya.
“Mogok?”
“Eoh, aku sudah mencoba menekan tombol
starternya berkali-kali, bahkan menggunakan pedal gas. Tapi tidak berhasil.”
“Jaehwan-ah, berikan helm itu
kepadanya.”
“Wae?”Jaehwan
nampak bingung dengan perintah Ji Hoon.
“Aku akan mengatarnya pulang. Kau
tunggu disini. Aku akan segera kembali.”
“Arraseo.” Jae hwan lalu turun dari
motor Ji Hoon dan menyerahkan helmnya kepada Ra Eun. Dengan ragu Ra Eun
memasang helm itu.
“Naiklah.” Perintah Ji Hoon masih
dengan tatapan dinginnya.
Tanpa berkata-kata lagi Ra Eun segera naik
ke motor Ji Hoon.
“Kau tak akan lama kan?” Tanya Jaehwan
kembali, ekspresi wajahnya seperti menunjukkan tak rela jika ditinggal JI Hoon.
“Chal Isseo Jaehwan-ah.” Ra Eun
melambai tangannya pada Jae Hwan, Jae Hwan pun membalasnya masih dengan
ekspresi yang sama, apa dia telah mengganggu kencan para pria ini. Entahlah, Ji
Hoon dan Jae Hwan memang terkenal bersahabat dekat, mereka seperti ditakdirkan
untuk selalu satu sekolah bahkan satu kelas.
~
~ ~
Selama perjalanan tak ada satupun dari
mereka yang mengelurakan suara. Ji Hoon memacu kendaraannya dengan cukup cepat,
membuat Ra Eun mau tak mau berpegangan erat walau hanya pada jaketnya saja. Ini
adalah pertama kalinya Ra Eun naik kendaraan bersama Ji Hoon. Sebenarnya mereka
tidak terlalu dekat, Ra Eun sendiri mengenal Ji Hoon sejak ia dan keluarganya
pindah dan membuka kedai daging di dekat rumahnya. Namun pribadi Ji Hoon yang
dingin membuatnya sulit untuk di dekati. Hingga mereka satu sekolah dan berada
di kelas yang sama pun, tak pernah ada pembicaraan panjang dan akrab layaknya
Ra Eun dan siswa lainnya.
Tak terasa menit berlalu, hingga mereka tiba di depan pagar rumah Ra Eun. Ra
Eun segera turun dan melepas helm kemudian merapikan rambutnya yang sedikit
berantakan.
“Gomawo.” Ji Hoon hanya menanggapinya
dengan dehaman tanpa melihat ke arah Ra Eun.
“Aku melihatmu membolos saat
isitirahat pertama, kau memanjat tembok belakang sekolah kan?” kali ini
pertanyaan Ra Eun berhasil membuat Ji Hoon melihat ke arahnya.
“Kau mau mengadukannya?” bukannya
menjawab, Ji Hoon justru menjawabnya dengan pertanyaan.
“Asalkan kau tak terlalu sering
mengulangnya, aku akan tetap menjaga bukti autentiknya.” Ra Eun mengancungkan
telunjuk jarinya seakan dia berjanji.
Tak ada respon berarti, Ji Hoon hanya
mengendikkan bahunya dan menyalakan kendaraannya, kemudian pergi meninggalkan
Ra Eun.
“Tskkk, tingkah lakunya benar-benar
tak tergambar di wajahnya.” Gumam Ra Eun sambil melihat kepergian Ji Hoon.
Memang, Ji Hoon memiliki wajah yang manis dan membuat orang yang pertama
bertemu dengannya akan berasumsi bahwa dia adalah seorang yang ramah, namun
justru hal itu berbanding terbalik dengan sikap dinginnya.
~ ~ ~
“Kalau kau bisa menangkap senyumnya
yang manis, aku akan mentraktirmu jajangmyoen setelah pulang sekolah nanti.”
Sebuah tantangan dari Chaeyeon membuat Ra Eun semakin semangat mengarahkan
kameranya kepada pria tinggi dengan mata menawan yang sedang memainkan bola
basket di lapangan tengah. Bae Jin Young, ketua OSIS Tourin School dan masuk ke
dalam kelas B karena bakatnya sebagai pemain basket dan sering menjadi
perwakilan sekolah dalam berbagai turnamen. Pria yang berhasil mencuri
perhatian sahabatnya sejak mereka duduk di bangku tahun pertama.
Istirahat pertama memang sering
diahabiskan Ra Eun dan Chaeyeon di lantai 3 gedung sekolah Tourin. Chaeyeon
dengan setia menemani Ra Eun menekuni hobinya itu, bahkan ia rela untuk tidak
berkumpul di kantin seperti siswa lainnya. Mereka masih larut dalam tawa canda
hingga tak menyadari sebuah langkah cepat dengan hentakan kaki yang penuh
amarah sedang menapaki satu persatu tangga menuju lantai tepat mereka berada. Hingga
Sebuah tangan membalik bahu Ra Eun dengan kasar, membuat dirinya terkejut
memandang wajah memerah dengan nafas yang tak beraturan.
“Kau kan?” Sora menatap tajam ke arah
Ra Eun.
“Cho..chogi, aku tak faham
maksudmu.”Ra Eun mencoba memahami situasi yang terjadi, namun ia tak bisa.
“Jangan berpura-pura, kau kan yang
mengambil fotoku malam tadi dan menyebarkannya?”
Pertanyaan So Ra membuat Ra Eun menyadari
apa yang dimaksudkannya, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Na Aniya”
“Gojitmal” masih diliputi
dengan bara amarah, So Ra merebut paksa kamera yang ada di tangan Ra Eun. Ra
Eun yang terkejut dengan tindakan So Ra mencoba mepertahankan kameranya namun
tak berhasil hingga kamera itu terlepas dari tangannya dan terlempar jatuh ke
lantai paling bawah. Chaeyeon yang melihat kejadian itu terkejut dan menutup
mulutnya, sedangkan Ra Eun dengan mata berkaca-kaca menatap ke arah Sora seakan
meminta penjelasan apa maksud dari perbuatannya barusan.
“Kau pantas mendapatkannya.” Ucapan
kasar dan penuh penekanan dari mulut Sora itu membuat genangan air di mata Ra
Eun semakin bertambah. Ia segera berlari ke lantai bawah diikuti Chaeyeon yang sekilas
memandang sinis kea rah Sora.
Dengan langkah cepat Ra Eun menuruni
tangga satu persatu, hingga langkah kakinya membawa pada kerumunan siswa di
lantai bawah.
“Oh, an..andwee” Ra Eun memandang tak
percaya pada kameranya yang terbelah dua dengan beberapa kabel yang masih
terhubung, bahkan lensanya ikut pecah. Dengan tangan bergetar ia mengangkat
kamera pemberian ayahnya yang selama ini ia sayangi dan jaga. Sekilas memori saat
pertama kali Ayahnya memberi kamera itu sebagai hadiah ulang tahun terlintas
begitu saja di ingatannya. Akhirnya tangis Ra Eun pecah sambil memeluk erat
kameranya, tak peduli dengan tatapan para siswa yang berkerumun mengelilinginya.
~
~ ~
Pria paruh baya itu hanya bisa
menggelengkan kepalanya saat melihat kondisi kamera Ra Eun. Sepulang sekolah,
Ra Eun memutuskan untuk membawa kameranya ke tempat servis alat elektronik
ditemani Chaeyeon. Sudah beberapa tempat servis mereka datangi, namun tidak
satupun dari mereka yang mampu memperbaikinya.
“Ini benar-benar rusak parah dan tak
mungkin diperbaiki lagi.”
“Apakah benar-benar tidak bisa
diusahakan?”
“Ini kamera jenis lama, perangkatnya
pun langka. Lebih baik kau menabung
untuk membeli yang baru.”
Lagi, Ra Eun mendapat jawaban yang
hampir sama dengan tempat sebelumnya. Chaeyeon yang melihat kondisi Ra Eun
hanya bisa mengelus pundak sahabatnya, mencoba memberi kekuatan walaupun ia
tahu Ra Eun masih tenggelam dalam kesedihannya.
“Ra Eun-ah, lebih baik kau pulang
untuk istirahat dan menenangkan fikiranmu. Dan lagi, kau tak perlu memikirkan masalah
Sora. Aku yakin kau bukanlah orangnya. Sebagai sahabatmu, aku akan menjadi
orang terdepan yang akan membelamu.”
Setidaknya perkataan Chaeyeon mampu
membuat sedikit senyuman di wajah Ra Eun.
“Gomawo Chaeyeon-ah. Kau memang
sahabat yang baik.”
“Oh, bisnya sudah datang. Ra Eun-ah
aku pergi dulu. Oh ya, air matamu cukup aku yang terakhir melihatnya. Setelah
ini pulanglah dengan tenang dan jangan lupa untuk makan. Kau bisa meneleponku
malam ini jika kau kesepian.” Chaeyeon memegang erat tangan Ra Eun sebelum
akhirnya ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam bis.
Setelah kepergian Chaeyeon, Ra Eun tak
beranjak dari halte karena ia menunggu bis berikutnya. Rumah bukan tujuan saat
ini, namun ada tempat yang benar-benar
ingin kunjungi.
~~~
Awan kelabu semakin mengumpul di
langit menjelang sore itu, udara dingin mulai menyapa kulit. Ra Eun yang baru
saja tiba di tempat pemakaman ayahnya membungkukkan badan sebagai tanda
penghormatan. Kemudian duduk di dekat palang nama bertuliskan Yoo Shin Ji.
Mengamati rerumputan sekitar yang ikut bergoyang bersama rambutnya yang diterpa
angin.
“Bagaimana kabarmu Appa? Maaf lama tak
mengunjungi mu. Aku, Eomma, dan Soo Ji sehat-sehat saja. Oh ya, akhir-akhir ini
eomma selalu pulang larut malam karena pekerjaannya yang banyak. Dia
benar-benar bekerja keras untuk kami.” Sapaan pertama Ra Eun terdengar berbaur
dengan suara gesekan rumput yang semakin keras karena tiupan angin.
“Appa, apa kau masih ingat saat ulang
tahunku yang ke 10, kau memberiku hadiah yang bahkan aku sendiri tak menyangkanya.
Kamera ini, benar-benar berarti untukku, bahkan sejak Appa pergi, kamera ini
lah yang menjadi temanku.” Ra Eun menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan
kalimatnya.
“Aku berjanji akan terus menjaga dan
merawatnya, aku bahkan tak peduli dengan komentar orang tentang kamera ini. Keureonde
Appa, mi…an…jongmal..mianhae….”
suara Ra Eun mulai bergetar seiring bertambahnya genangan air di matanya.
“Appa,…aku benar-benar ceroboh,
hikks..a..aku telah merusak hadiah paling berharga ini…hiksssss…Appa maafkan
aku”
Ra Eun tak mampu lagi membendung
tangisnya. Ia bahkan tak menyadari tetesan hujan yang mulai ikut turun
membasahi pipinya, berbaur dengan air matanya yang kian deras. Janjinya pada
Chaeyeon untuk berhenti menangis harus teringkari. Isakannya telah berganti
dengan raungan keras. Kamera yang bernasib malang itu dipeluknya semakin erat.
Hanya kata Appa mianhae yang terus terulang dari bibir gadis remaja itu.
Hujan pun turun semakin deras seakan mengerti dan mengikuti
kesedihan Ra Eun.
Modeun ge heundeullyeo boyoe
Nae nunen han eopsi bigawa
Guruemdo han jeom eomneun
Haedsal jeon jeom eomneun
Wae nin bigawa?
Semuanya
tampak buram
Hujan
tanpa henti di mataku
Meskipun
tanpa Awan,
Hari
yang cerah
Kenapa
hujan untukku?
-
Ahn Hyun Jung “Rain” -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar