Jumat, 11 Agustus 2017

The TEEN-ACE (Chapter 1)

Tittle
:
The TEEN-ACE (Chapter 1)
Casts
:
Yoo Ra Eun (OC)


Kim Sohye (IOI)


Park Ji Hoon (Wanna One)


Hwang Min Hyun (Wanna One)


Jeon So Mi (IOI)


Jung Chaeyeon (IOI)


Kim Jae Hwan (Wanna One)


Ha Seok Jin (Actor)
Author 
:
Shin Eun So / @Nugichan (wattpad)
Genre  
:
School, Romance
Length 
:
Multi Chapter
Ratting
:
General



Komentar dan Saran adalah pupuk semangat bagi author.
No Copy No Plagiator. Typo Everywhere. Enjoy Reading !



“Being a teenager means dealing with school, parents, freedoom, love and sacrifice”

“Jadi…. Bagaimana?” gadis itu kembali bertanya pada pria yang kini tengah sibuk menggosok-gosok dagunya sambil memandang selembar foto yang ada di depannya.

          “5 won”

          “Ye? ba…bagaimana bisa semurah itu. Editor Kim, apa kau tak yakin dengan foto yang ku ambil. Ini benar-benar Kang Daniel” Jelas Nampak raut kecewa di wajah gadis itu. Yang pasti ia merasa harga yang ditawarkan tak sepadan dengan usahanya.

          “Aku tau ini Kang Daniel, tapi coba lihat kualitas gambar yang kau ambil. Ini benar-benar di bawah standar. Memang kamera jenis apa yang kau gunakan, huh?”

          Gadis itu terdiam sejenak, kemudian menarik nafas dalam. Ia sedikit menyesal, seharusnya ia membawa langsung gambar yang telah susah payah ia ambil bahkan dirinya harus rela menyamar dmenjadi ahjumma hanya demi mendapat foto idola yang tengah naik daun itu ke media terkenal seperti Dispatch. Bukan ke penerbit yang notabennya baru beberapa bulan berdiri, tapi sok jual mahal begini.

          “Begini Editor Kim, pembaca juga tak akan mencari tahu kamera apa yang digunakan untuk mengambil gambar ini. Yang mereka cari adalah berita dan faktanya. Lagi pula hanya aku satu-satunya yang berhasil mengambil gambar langka ini. Jadi kumohon Kim Sajangnim, bisakah kau menaikkan harganya ?” baiklah, mungkin dengan memohon gadis itu akan mendapat tawaran yang lebih besar.

          “Kau pikir kau satu-satunya?”

          Gadis itu hampir terpekik, saat Editor Kim mengeluarkan beberapa lembar foto dengan objek yang sama dengan yang dimilikinya. Ia bahkan bisa memprediksi jenis kamera yang digunakan untuk mengambil foto-foto itu. Akhirnya, niat untuk membawa hasil fotonya ke penerbit majalah terkenal luluh begitu saja.

          Namanya Yoo Ra Eun, seorang gadis berusia 17 tahun yang sangat tergila-gila dengan fotografi. Semenjak ia mendapat hadiah kamera berlabel tahun 2000-an pemberian ayahnya, Ra Eun mulai  menekuni dunia fotografi. Hingga sekarang, kamera itu seakan menjadi temannya, tak peduli komentar orang tentang kunonya kamera yang ia gunakan. Ra Eun tetap setia menggunakan lensa kamera itu untuk menangkap objek yang ia inginkan.

          Ra Eun bukanlah seorang paparazzi, sebenarnya dia masih berstatus sebagai anak yang memakai seragam sekolah Tourin School tahun kedua. Mengambil foto idola secara diam-diam demi dijual ke media bukanlah hal rutin baginya, hal itu tak lebih dari sekedar hobi dan tentunya karena ada timing yang tepat.

          “Aishhh.. padahal angle yang kuambil lebih bagus dari pada milik mereka, ini bukan masalah kualitas gambar tapi yang terpenting kontennya.” Ra Eun masih menggerutu sambil melangkah melewati jalanan Mong dong yang tampak sepi malam itu.

          Tiba di sebuah jalanan dekat taman, Ra Eun menghentikan langkahnya. Matanya menyipit melihat kea rah kumpulan pria bermotor yang nampak serius berbicara. Bukannya merasa takut, Ra Eun justru merasa penasaran pada salah satu  pria yang terasa tak asing baginya.

          “Yaa.. bukankah itu Ji Hoon, apa yang sedang ia lakukan dengan para gangster itu?”

          Sebuah ide terlintas di kepalanya, ia kemudian mengambil kamera dari dalam tasnya kemudian memfokuskan lensa tepat ke arah kumpulan pria itu  hingga terdengar bunyi klik beberapa kali  tanda bahwa kameranya telah menangkap momen yang cukup menarik.

          “Gotcha, kuharap Samchoen akan memberiku kupon daging gratis dengan ini.”

          Ra Eun kembali memasukkan kameranya, dengan smirk yang tercetak jelas di wajahnya ia meneruskan langkahnya. Tanpa ia sadari sepasang mata dengan tajam memperhatikannya dari jauh.


          Semester baru di Tourin School, momen yang seharusnya dipenuhi canda tawa justru terasa menegangkan bagi sebagian besar siswa. Semester baru, berarti penentuan nasib mereka selama enam bulan kedepan. Tourin School adalah salah satu sekolah yang sangat mementingkan kualitas dengan menerapkan sistem kasta kelas. Kelas A adalah kelas untuk siswa-siswa brilian, siswa yang memiliki kemampuan akademik dan masuk kedalam 1% peringkat atas sekolah, kelas yang membuat siswa lain setengah mati merasa iri. Bahkan membuat para orang tua siswa berlomba menghabiskan uang banyak untuk mengkursuskan anaknya demi mendapat bangku disana. Sebaliknya, kelas F adalah kelas yang berada pada kasta paling bawah, kelas yang paling dihindari siswa dan dikutuk para orang tua.

          “Raccoon-ah, kau sudah mendapatkan kelasmu?”

          Ra Eun yang sebenarnya sedikit kesal dipanggil dengan nama hewan berkaki pendek asal Amerika Utara oleh sahabatnya sendiri hanya bisa tersenyum dan menggeleng. Dia adalah Jung Chaeyeon, sahabat karib Ra Eun sejak duduk di bangku SMP.

          “Kajja, kita cari kelasku dulu” Chaeyeon menarik lengan Ra Eun, namun  tubuhnya tertahan karena Ra Eun tak sedikitpun beranjak.

          “Kelasmu?” Ra Eun mengernyit, ia nampak bingung dengan pola pikir sahabatnya itu.

          “Wae?”

          “Kau seperti tak ingin sekelas denganku.”

          “A..aniya, Ra Eun-ah, semalaman aku berdoa semoga namaku tidak termasuk di kelas F. bahkan malam tadi aku bermimpi kalau aku sekelas dengan Bae Ji Young. Bukankah Bae Ji Young ada di kelas B yang khusus untuk anak-anak berbakat.”

          “Memang di mimpimu bakat apa yang kau miliki?.”

          “I..itu, aishh, lupakan saja, sekarang ayo kita ke kelas B.”

          “Chaeyeon-ah, kau tak perlu ke sana, kelas kita ada di depan.” Ra Eun menaikkan dagunya menunjuk ke sebuah kelas yang berada tak jauh dari mereka. Kelas yang terlihat masih sepi, karena para siswa  lebih memilih untuk memeriksa nama mereka di kelas lain.

          “Mwo? Wae? Kita sekelas? Berarti aku ada di kelas…..”

          Chaeyeon itu tak melanjutkan kata-katanya, ia memilih untuk berlari dan melihat daftar nama yang sudah ditempel di depan kelas yang dengan cetakan huruf yang agak buram namun masih bisa dibaca, kelas F.

          “Kim Boram, Han Seul Gi, Yoo Ra Eun, Jung…Chae…Yeon…oh aniya-aniya, aku pasti bermimpi.”

          “Kau tidak bermimpi chingu-ya, semester baru, kelas baru, dan ….”

          “Mwo..??Andweeeee… Ra Eun-ah, aku tak ingin masuk kelas ini. Aku tidak bisa membayangkan apa yang Appa akan lakukan jika dia mengetahuinya.”

          “Jung Chaeyeon, sekalipun Appa mu akan mengikatmu dengan kail pancing kesayangannya, kau tetap berada di kelas F. Kajja, kita cari bangku paling nyaman, aman dan strategis sebelum yang lain datang.”

~ ~ ~
          Ra Eun menghela nafas panjang, angin berhembus menerbangkan helaian rambutnya yang terikat. Ia berdiri termenung sambil melihat pemandangan di bawahnya dari lantai 3 gedung Tourin yang masih kosong. Ra Eun tidak sendirian, sebelumnya Chaeyeon bersama dengannya, namun ia pergi ke kantin untuk membeli beberapa cemilan. Ia bisa memahami betapa shocknya sahabatnya itu ketika untuk kedua kalinya ia menjadi siswa di kelas F. Ia tahu, Chaeyeon sangat takut dengan ayahnya yang selalu memberi ancaman jika ia berada di kelas F.

          Ra Eun tak ingin terlalu larut dalam pemikirannya, ia mengambil kamera kesayangannya, kemudian mengarahkan lensanya ke arah para siswa Tourin yang sedang menghabiskan waktu istirahat mereka di lapangan basket dan taman sekolah. Satu objek yang sedang berjalan di koridor kelas menarik perhatian Ra Eun. Dia adalah si nomor 1, Hwang Min Hyun. Ra Eun memutar perlahan zoom in pada kameranya, hingga tepat saat lensanya menangkap jelas ekspresi Min Hyun yang sedang tersenyum. Sangat manis, batin Ra Eun. Pantas saja banyak wanita yang menaruh hati padanya. Pria yang nyaris sempurna, tampan, cerdas, calon pewaris tunggal perusahaan ibunya, dan yang tak kalah penting adalah kepribadiannya yang ramah. Baru saja Ra Eun ingin mengambil fotonya, tiba-tiba objek lain mendekati Min Hyun. Seorang gadis berperawakan tinggi dengan wajah cantiknya, Jeon So Mi, siswa kelas A sekaligus putri ketua komite sekolah Tourin, orang yang paling disegani kepala sekolah dan dewan guru, karena ayahnya merupakan donator terbesar di Tourin School.

          Ra Eun memutar kembali kamera zoom outnya, hingga lensanya tak lagi menangkap satu objek, melainkan dua objek yang tengah bercengkrama ria. Klik, akhirnya Ra Eun mengambil sebuah foto. “Pasangan yang sempurna.” Ia tersenyum puas melihat hasil jepretannya. Hwang Min Hyun dan Jung Soomi memang dikabarkan memiliki hubungan khusus, mereka terlihat sering bersama, apalagi mereka termasuk siswa 1% peringkat atas Tourin School.

          Masih tersisa  5 menit lagi waktu istirahat, Ra Eun kembali mengangkat kameranya, kali ini ia mengarahkan lensanya ke arah timur bangunan sekolah, tepat di taman belakang. Namun kali ini bukan hanya lensa kameranya yang membesar, tapi pandangan matanya juga ikut menajam. Seorang siswa berseragam Tourin sedang berusaha memanjat tembok belakang sekolah.

 “Aishh, baru hari pertama anak itu sudah membuat masalah.” Tak tinggal diam, Ra Eun berkali-kali menekan tombol klik pada kamera untuk mendokumentasikan bukti autentik itu. Hingga detik berikutnya terdengar suara bel pelajaran selanjutnya.  Ra Eun kembali memasukkan kamera ke dalam tas kecil hitam dan berlari turun melawati tangga kembali ke kelasnya.
~ ~ ~
          Malam itu Ra Eun tengah memindahkan file foto yang seharian ini dia ambil ke dalam laptopnya. Ia kembali membuka satu persatu hasil jepretannya dan terhenti pada salah satu foto yang ia ambil dari atas gedung sekolah siang tadi.

          “Haruskah aku melaporkannya pada Ha Saem?” Ra Eun bergumam sendiri, ia menimbang-nimbang fikirannya untuk mencetak foto namja yang ia yakini adalah Park Ji Hoon yang tengah memanjat tembok belakang sekolah kemudian menyerahkannya kepada Guru Ha. Ditengah rasa bimbangnya, Ra Eun kembali teringat dengan kejadian pada semester tahun lalu, dimana ia pernah memergoki hal yang sama kemudian mengadukannya pada Nam saem, guru yang terkenal paling banyak memberi potongan poin kepada siswa. Namun Nam saem tak mempercayainya, bahkan menghubungankannya dengan rumor mistis. Jika dihitung, banyak sekali pelanggaran yang dilakukannya. Padahal Park Ji Hoon adalah siswa yang bermasalah, namun  entah kenapa keberuntungan selalu berpihak padanya.

          “Eomma pulang”

          Ra Eun segera bangkit dari kursi kamarnya dan berlari menuju ke ruang depan. Ibunya baru saja datang dari kantor dengan barang belanjaan yang cukup banyak.

          “Wah banyak sekali belanjaanmu Eomma, biar ku bantu”. Dengan gesit Ra Eun membawa bungkusan-bungkusan itu ke dapur. Dibalik langkahnya yang cepat, Ra Eun sebenarnya sedang mengkhawatirkan sesuatu.

          “Bagaimana sekolahmu Ra Eun-ah. Kau berada di kelas mana?”

          Benar saja, apa yang dikhawatirkannya terjadi. Ibunya pasti menanyakan perihal sekolah dan kelas barunya.

          “Ommo, eomma, aku lupa membeli daging saat pulang sekolah tadi.”

          “Apa? Bagaimana bisa kau lupa, eomma bahkan telah meninggalkan pesan di pintu kulkas.”

          “Hehe, maafkan aku eomma. Aku akan pergi ke kedai Park Ahjussi untuk membeli daging. Eomma masak saja dulu supnya” Ra Eun bergegas menuju kamarnya untuk mengambil jaket,  langkahnya terhenti saat melihat tas hitam kecil di atas meja kecil kamarnya, tanpa pikir panjang ia meraih tas itu dan bergegas keluar.

          ~ ~ ~
          Ra Eun menghela nafas lega, setidaknya malam ini ia tidak harus mendengar omelan ibunya karena ia kembali menjadi siswa kelas F.

          “Ahjussi, aku ingin membeli  setengah kilo daging.”

          “Oh Ra Eun-ah, sebentar.”

          Ra Eun memperhatikan sekeliling kedai daging yang telah menjadi langganan keluarganya sejak lama. Matanya tertuju pada beberapa bungkusan daging di atas meja.

          “Apa daging-daging itu pesananan pelanggan, ahjussi?”

          “Eoh, Iya Ra Eun-ah, aku masih menunggu So Jun untuk mengantarkannya.”

          Ra Eun mengangguk-angguk, mengingat So Jun adalah putra sulung Park Ahjussi yang sekarang tengah menjadi mahasiswa. Tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu.

          “Apakah Ji Hoon juga tidak ada?” benar, Park Ji Hoon adalah putra bungsu Park Ahjussi. Itu lah mengapa Ra Eun bisa mengenal dirinya bahkan sebelum menjadi siswa Tourin.

          “Sepertinya dia ada acara dengan teman-temannya.”

          “Ishh, anak itu.” Ra Eun bergumam, “Ahjussi, biar aku saja yang mengantarkan pesanannya.”

          “Benarkah, apa tak merepotkanmu?” Ra Eun menggeleng.

          “Baiklah, aku akan memberimu tambahan daging gratis karena kau telah berbaik hati mau mengantarkan pesanan itu. Ahh ya, ini kunci kendaraannya”

          Park Ahjussi memberikan kunci kendaraan skuter yang biasa ia pakai untuk mengatarkan pesanan daging kepada pelanggan.

          “Gwenchana, ahjussi, kau tak perlu membalasnya. Kalau begitu aku pergi dulu.”
          “Hati-hati di jalan Ra Eun-ah”
~ ~ ~
          Suasana kota cukup ramai malam itu, Ra Eun menarik nafasnya dalam, menikmati angin malam yang cukup dingin namun terasa menyegarkan. 3 bungkus daging telah ia antarkan pada pelanggan Park Ahjussi. Sebenarnya Ra Eun membawa kameranya sebelum pergi tadi, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, atau setidaknya ia bisa mengulur waktu sebelum ia terlibat perdebatan tentang kelas lagi dengan ibunya.

 Sambil memutar gas perlahan, pandangannya terus beredar melihat sekelilingnya, mencari objek yang bagus untuk menambah koleksi fotonya. Sebuah taman air mancur yang terbias lampu sorot berwarna-warni membuat Ra Eun menghentikan skuternya. Setelah memarkirkannya, Ra Eun segera menuju taman air mancur itu sambil membawa kamera. Ia mencari posisi yang tepat kemudian mengarahkan lensa kamera ke arah objek yang tepat kemudian mengambil gambar beberapa kali. Seorang anak kecil yang sedang asik bermain air dengan ayahnya di taman air mancur itu tak luput dari lensa kamera Ra Eun. Momen bahagia mereka justru mengingatkan Ra Eun pada seseorang yang sangat ia rindukan, seseorang yang begitu ia sayangi namun harus pergi meninggalkannya tepat saat ia berusia 10 tahun.

Jam tangan Ra Eun sudah menunjukkan pukul 22.15 KST, ibunya pasti khawatir jika ia pergi terlalu lama. Baru saja Ra Eun ingin mengakhiri hobinya, tiba-tiba dari kejauhan ia melihat seorang yang cukup ia kenal berjalan keluar dari sebuah club malam.

“Bukankah itu Sora?” Gumam Ra Eun yang cukup terkejut, mengingat Sora masih berstatus anak sekolah, lebih tepatnya sama seperti dirinya, siswa Tourin. Bukankah anak dibawah umur tidak diperbolehkan untuk masuk ke tempat semacam itu.

Detik berikutnya, gadis yang diyakini Ra Eun adalah Sora itu melihat ke arahnya. Ia pun nampak terkejut dengan keberadaan Ra Eun dan segera memalingkan wajahnya kemudian memanggil sebuah taksi. Ra Eun yang menyadari itu berusaha untuk memanggil namun Sora terlebih dulu telah masuk ke dalam taksi.

“Baiklah, ini bukan urusanmu Ra Eun-ah.” Ra Eun mencoba mengingatkan dirinya sendiri. Ra Eun  mencoba menganggap bahwa ia tak pernah melihatnya, karena dirinya bukanlah tipe yang akan mengumbar berita yang belum jelas faktanya.

Baru saja Ra Eun berniat ingin meninggalkan tempat itu, kini ia harus menghadapi masalah lain. Skuter yang ia bawa tidak mau hidup, ia bahkan telah berkali-kali menekan tombol starter dan menggunakan pedal gas. Sialnya lagi, ia lupa membawa ponsel. Awalnya ia berniat membawa skuternya ke bengkel terdekat, namun dari informasi yang ia dapat, bengkel terdekat tersebut hanya buka sampai sore hari. Akhirnya Ra Eun memilih untuk duduk di bangku taman air mancur, mungkin saja ada orang lain yang bisa membantunya.

“Ah, aku ngantuk sekali.” Ra Eun menguap kemudian menggosok matanya yang terasa berat, hingga sebuah cahaya lampu dan suara berat kendaraan motor mendekatinya.

“Yaa..Yoo Ra Eun, mwohanengeoya?”

Sebuah suara tak asing membuat Ra Eun membuka matanya , “Kim Jaehwan.” Seru Ra Eun kemudian berdiri dari duduknya setelah mengetahui bahwa yang memanggilnya adalah Jae Hwan, teman sekelas Ra Eun. Tapi tunggu, Jaehwan tidak sendiri, ia sedang di bonceng oleh seorang pria. Ra Eun lalu mencondongkan badannya kearah pria yang sedang memegang kemudi motor dan mengenakan helm dengan kaca tertutup.

“Oo, Ji Hoon.” Pekik Ra Eun.

          Ji Hoon lalu membuka kaca helmnya dan menatap Ra Eun kemudian melihat ke arah skuter yang terparkir di dekatnya.

          “Mogok?”

          “Eoh, aku sudah mencoba menekan tombol starternya berkali-kali, bahkan menggunakan pedal gas. Tapi tidak berhasil.”

          “Jaehwan-ah, berikan helm itu kepadanya.”

          “Wae?”Jaehwan nampak bingung dengan perintah Ji Hoon.

          “Aku akan mengatarnya pulang. Kau tunggu disini. Aku akan segera kembali.”

          “Arraseo.” Jae hwan lalu turun dari motor Ji Hoon dan menyerahkan helmnya kepada Ra Eun. Dengan ragu Ra Eun memasang helm itu.

          “Naiklah.” Perintah Ji Hoon masih dengan tatapan dinginnya.

          Tanpa berkata-kata lagi Ra Eun segera naik ke motor Ji Hoon.

          “Kau tak akan lama kan?” Tanya Jaehwan kembali, ekspresi wajahnya seperti menunjukkan tak rela jika ditinggal JI Hoon.

          “Chal Isseo Jaehwan-ah.” Ra Eun melambai tangannya pada Jae Hwan, Jae Hwan pun membalasnya masih dengan ekspresi yang sama, apa dia telah mengganggu kencan para pria ini. Entahlah, Ji Hoon dan Jae Hwan memang terkenal bersahabat dekat, mereka seperti ditakdirkan untuk selalu satu sekolah bahkan satu kelas.
~ ~ ~
          Selama perjalanan tak ada satupun dari mereka yang mengelurakan suara. Ji Hoon memacu kendaraannya dengan cukup cepat, membuat Ra Eun mau tak mau berpegangan erat walau hanya pada jaketnya saja. Ini adalah pertama kalinya Ra Eun naik kendaraan bersama Ji Hoon. Sebenarnya mereka tidak terlalu dekat, Ra Eun sendiri mengenal Ji Hoon sejak ia dan keluarganya pindah dan membuka kedai daging di dekat rumahnya. Namun pribadi Ji Hoon yang dingin membuatnya sulit untuk di dekati. Hingga mereka satu sekolah dan berada di kelas yang sama pun, tak pernah ada pembicaraan panjang dan akrab layaknya Ra Eun dan siswa lainnya.

Tak terasa menit berlalu, hingga  mereka tiba di depan pagar rumah Ra Eun. Ra Eun segera turun dan melepas helm kemudian merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

          “Gomawo.” Ji Hoon hanya menanggapinya dengan dehaman tanpa melihat ke arah Ra Eun.

          “Aku melihatmu membolos saat isitirahat pertama, kau memanjat tembok belakang sekolah kan?” kali ini pertanyaan Ra Eun berhasil membuat Ji Hoon melihat ke arahnya.

          “Kau mau mengadukannya?” bukannya menjawab, Ji Hoon justru menjawabnya dengan pertanyaan.

          “Asalkan kau tak terlalu sering mengulangnya, aku akan tetap menjaga bukti autentiknya.” Ra Eun mengancungkan telunjuk jarinya seakan dia berjanji.

          Tak ada respon berarti, Ji Hoon hanya mengendikkan bahunya dan menyalakan kendaraannya, kemudian pergi meninggalkan Ra Eun.

          “Tskkk, tingkah lakunya benar-benar tak tergambar di wajahnya.” Gumam Ra Eun sambil melihat kepergian Ji Hoon. Memang, Ji Hoon memiliki wajah yang manis dan membuat orang yang pertama bertemu dengannya akan berasumsi bahwa dia adalah seorang yang ramah, namun justru hal itu berbanding terbalik dengan sikap dinginnya.

          ~ ~ ~
          “Kalau kau bisa menangkap senyumnya yang manis, aku akan mentraktirmu jajangmyoen setelah pulang sekolah nanti.” Sebuah tantangan dari Chaeyeon membuat Ra Eun semakin semangat mengarahkan kameranya kepada pria tinggi dengan mata menawan yang sedang memainkan bola basket di lapangan tengah. Bae Jin Young, ketua OSIS Tourin School dan masuk ke dalam kelas B karena bakatnya sebagai pemain basket dan sering menjadi perwakilan sekolah dalam berbagai turnamen. Pria yang berhasil mencuri perhatian sahabatnya sejak mereka duduk di bangku tahun pertama.

          Istirahat pertama memang sering diahabiskan Ra Eun dan Chaeyeon di lantai 3 gedung sekolah Tourin. Chaeyeon dengan setia menemani Ra Eun menekuni hobinya itu, bahkan ia rela untuk tidak berkumpul di kantin seperti siswa lainnya. Mereka masih larut dalam tawa canda hingga tak menyadari sebuah langkah cepat dengan hentakan kaki yang penuh amarah sedang menapaki satu persatu tangga menuju lantai tepat mereka berada. Hingga Sebuah tangan membalik bahu Ra Eun dengan kasar, membuat dirinya terkejut memandang wajah memerah dengan nafas yang tak beraturan.

          “Kau kan?” Sora menatap tajam ke arah Ra Eun.

          “Cho..chogi, aku tak faham maksudmu.”Ra Eun mencoba memahami situasi yang terjadi, namun ia tak bisa.

          “Jangan berpura-pura, kau kan yang mengambil fotoku malam tadi dan menyebarkannya?”

          Pertanyaan So Ra membuat Ra Eun menyadari apa yang dimaksudkannya, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Na Aniya

          “Gojitmal” masih diliputi dengan bara amarah, So Ra merebut paksa kamera yang ada di tangan Ra Eun. Ra Eun yang terkejut dengan tindakan So Ra mencoba mepertahankan kameranya namun tak berhasil hingga kamera itu terlepas dari tangannya dan terlempar jatuh ke lantai paling bawah. Chaeyeon yang melihat kejadian itu terkejut dan menutup mulutnya, sedangkan Ra Eun dengan mata berkaca-kaca menatap ke arah Sora seakan meminta penjelasan apa maksud dari perbuatannya barusan.

          “Kau pantas mendapatkannya.” Ucapan kasar dan penuh penekanan dari mulut Sora itu membuat genangan air di mata Ra Eun semakin bertambah. Ia segera berlari ke lantai bawah diikuti Chaeyeon yang sekilas memandang sinis kea rah Sora.

          Dengan langkah cepat Ra Eun menuruni tangga satu persatu, hingga langkah kakinya membawa pada kerumunan siswa di lantai bawah.

          “Oh, an..andwee” Ra Eun memandang tak percaya pada kameranya yang terbelah dua dengan beberapa kabel yang masih terhubung, bahkan lensanya ikut pecah. Dengan tangan bergetar ia mengangkat kamera pemberian ayahnya yang selama ini  ia sayangi dan jaga. Sekilas memori saat pertama kali Ayahnya memberi kamera itu sebagai hadiah ulang tahun terlintas begitu saja di ingatannya. Akhirnya tangis Ra Eun pecah sambil memeluk erat kameranya, tak peduli dengan tatapan para siswa yang berkerumun mengelilinginya.

~ ~ ~
         
          Pria paruh baya itu hanya bisa menggelengkan kepalanya saat melihat kondisi kamera Ra Eun. Sepulang sekolah, Ra Eun memutuskan untuk membawa kameranya ke tempat servis alat elektronik ditemani Chaeyeon. Sudah beberapa tempat servis mereka datangi, namun tidak satupun dari mereka yang mampu memperbaikinya.

          “Ini benar-benar rusak parah dan tak mungkin diperbaiki lagi.”

          “Apakah benar-benar tidak bisa diusahakan?”

          “Ini kamera jenis lama, perangkatnya pun langka. Lebih baik kau  menabung untuk membeli yang baru.”

          Lagi, Ra Eun mendapat jawaban yang hampir sama dengan tempat sebelumnya. Chaeyeon yang melihat kondisi Ra Eun hanya bisa mengelus pundak sahabatnya, mencoba memberi kekuatan walaupun ia tahu Ra Eun masih tenggelam dalam kesedihannya.

          “Ra Eun-ah, lebih baik kau pulang untuk istirahat dan menenangkan fikiranmu. Dan lagi, kau tak perlu memikirkan masalah Sora. Aku yakin kau bukanlah orangnya. Sebagai sahabatmu, aku akan menjadi orang terdepan yang akan membelamu.”

          Setidaknya perkataan Chaeyeon mampu membuat sedikit senyuman di wajah Ra Eun.

          “Gomawo Chaeyeon-ah. Kau memang sahabat yang baik.”

          “Oh, bisnya sudah datang. Ra Eun-ah aku pergi dulu. Oh ya, air matamu cukup aku yang terakhir melihatnya. Setelah ini pulanglah dengan tenang dan jangan lupa untuk makan. Kau bisa meneleponku malam ini jika kau kesepian.” Chaeyeon memegang erat tangan Ra Eun sebelum akhirnya ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam bis.

          Setelah kepergian Chaeyeon, Ra Eun tak beranjak dari halte karena ia menunggu bis berikutnya. Rumah bukan tujuan saat ini,  namun ada tempat yang benar-benar ingin kunjungi.

          ~~~
          Awan kelabu semakin mengumpul di langit menjelang sore itu, udara dingin mulai menyapa kulit. Ra Eun yang baru saja tiba di tempat pemakaman ayahnya membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan. Kemudian duduk di dekat palang nama bertuliskan Yoo Shin Ji. Mengamati rerumputan sekitar yang ikut bergoyang bersama rambutnya yang diterpa angin.

          “Bagaimana kabarmu Appa? Maaf lama tak mengunjungi mu. Aku, Eomma, dan Soo Ji sehat-sehat saja. Oh ya, akhir-akhir ini eomma selalu pulang larut malam karena pekerjaannya yang banyak. Dia benar-benar bekerja keras untuk kami.” Sapaan pertama Ra Eun terdengar berbaur dengan suara gesekan rumput yang semakin keras karena tiupan angin.

          “Appa, apa kau masih ingat saat ulang tahunku yang ke 10, kau memberiku hadiah yang bahkan aku sendiri tak menyangkanya. Kamera ini, benar-benar berarti untukku, bahkan sejak Appa pergi, kamera ini lah yang menjadi temanku.” Ra Eun menarik nafasnya dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

          “Aku berjanji akan terus menjaga dan merawatnya, aku bahkan tak peduli dengan komentar orang tentang kamera ini. Keureonde Appa,  mi…an…jongmal..mianhae….” suara Ra Eun mulai bergetar seiring bertambahnya genangan air di matanya.

          “Appa,…aku benar-benar ceroboh, hikks..a..aku telah merusak hadiah paling berharga ini…hiksssss…Appa maafkan aku”

          Ra Eun tak mampu lagi membendung tangisnya. Ia bahkan tak menyadari tetesan hujan yang mulai ikut turun membasahi pipinya, berbaur dengan air matanya yang kian deras. Janjinya pada Chaeyeon untuk berhenti menangis harus teringkari. Isakannya telah berganti dengan raungan keras. Kamera yang bernasib malang itu dipeluknya semakin erat. Hanya kata Appa mianhae yang terus terulang dari bibir gadis remaja itu.  Hujan pun  turun semakin deras seakan mengerti dan mengikuti kesedihan Ra Eun.
                    
Modeun ge heundeullyeo boyoe  
Nae nunen han eopsi bigawa
Guruemdo han jeom eomneun
Haedsal jeon jeom eomneun
Wae nin bigawa?
                                               Semuanya tampak buram
                                   Hujan tanpa henti di mataku
                                               Meskipun tanpa Awan,
                                               Hari yang cerah
                                               Kenapa hujan untukku?
                  
-          Ahn Hyun Jung “Rain” -


Tidak ada komentar:

Posting Komentar