Minggu, 19 November 2017

ENTRE Part 4 (Peach)



ENTRE (Part 4 – Peach)
By Shin Eun So / Nugichan (WP)

Casts :
Kwan Eunhye (OC), Oh Sehun (EXO), Park Chanyeol (EXO),
Hwang Min Hyun (Wanna One), Park Sohee (OC), Moon Reina (OC)
and Others Casts

AU, Romance, Hurt/Comfort

Chapter – PG’17
This is only a FICTION. The plot and story originally come from my mind.

Reina meletakkan sedikit kasar parfum  brand Lancome di atas meja riasnya, gadis itu mendesis pelan melihat pantulan seorang pria dari kaca meja rias yang tengah sibuk memainkan tablet dengan mimik serius. Sebenarnya Reina mampu membuat pria itu menghentikan aktivitas “gila kerja” nya, namun ia dapat memahami karena belakangan ini ia telah banyak memaksa pria itu untuk menemaninya mengurus acara penting yang akan diadakan hari ini, acara pertunangan mereka.

Suara ketukan terdengar, menarik kedua atensi insan itu menuju ke arah pintu hingga muncul seorang pria berpakaian khas pelayan yang masuk dan membungkuk hormat.

“Saya diminta Nyonya Han untuk menyampaikan bahwa sepuluh menit lagi acara akan dimulai.”

“Baiklah, kami akan turun sebentar lagi.” Sahut Reina, ia tersenyum mengetahui pesan itu berasal dari ibunya.

Setelah pelayan itu pamit pergi, Reina kembali mematut dirinya di depan kaca, merapikan sedikit sisa-sisa anak rambut yang tak terikat. Ia kemudian berdiri untuk merapikan bagian bawah maxi dress-nya yang berwarna monokrom, sebelum akhirnya berbalik ke arah pria yang masih tenggelam dalam kesibukannya, Park Chanyeol.
“Chanyeol-a, bagaimana penampilanku?”
Chanyeol menarik pandangannya sekilas ke arah Reina kemudian kembali sibuk menggerakkan jarinya pada layar tablet, “bagus.”
Mendengar tanggapan singkat Chanyeol, Reina mendengus pelan. Ia lantas berjalan ke arah Chanyeol dan mengambil tablet yang ada di tangan pria itu kemudian meletakkannya di atas meja.
“Aku sudah memintamu baik-baik Tuan Park, setidaknya hargailah permintaanku.”
Chanyeol menghela nafasnya, ia dapat memahami kenapa gadis di depannya menunjukkan aura kesal. Ia telah mengabaikan keberadaan Reina sejak mereka tiba di salah satu kawasan elit di distrik Gangnam yang mereka pilih sebagai tempat acara pertunangan. Beruntung sampai saat ini ibunya tidak mengunjungi ruangan yang sengaja ia pesan untuk tempat persiapan, jika tidak nyonya besar Park itu pasti memarahinya habis-habisan karena masih sibuk bekerja di hari penting mereka.
Chanyoel memperhatikan sejenak penampilan Reina seraya menggaruk-garuk pelipisnya yang terasa gatal kemudian berucap “Kau cantik malam ini.”
Ucapan Chayeol berhasil membuat desiran aneh di hati Reina, walau ia yakin jika  Chanyeol tak mengatakan kalimat itu sepenuh hatinya.
“Lupakan, aku tak perlu pujian darimu sekarang. Bersiaplah, sebentar lagi kita akan turun.”
Reina kembali duduk di depan meja riasnya sambil menetralkan detak jantungnya yang naik beberapa tingkat di atas normal. Ia sadar jika dirinya tak bisa menaruh harapan banyak pada hari pertunangannya itu, salah satu hal yang pernah menjadi mimpinya sejak remaja, dimana sebelum menikah nanti ia ingin mengadakan acara pertunangan yang dirancang oleh dirinya sendiri dengan orang yang dicintainya, atau lebih tepatnya dengan orang yang juga membalas cintanya. Ia menoleh ke arah Chanyeol yang diam-diam kembali mengambil tablet dari atas meja di sampingnya. Sampai saat ini pun ia masih sangsi dengan keputusan yang ia ambil dengan menyetujui perjodohannya bersama pria itu.
~
Hwang Minhyun, pria itu terlihat bersandar pada mobil silvernya sambil menggerak-gerakkan kaki, mencoba mengusir rasa gugup yang menyergap sejak ia memutuskan untuk menuju ke sebuah apartemen di salah satu distrik Gurogu. Dengan ragu ia mengambil handphone dari dalam jasnya, mengecek kembali pesan yang beberapa menit lalu masuk. Pria itu benar-benar bingung dengan dirinya sendiri dan sampai sekarang dirinya masih tak percaya dengan kenekatannya untuk menghubungi dan meminta gadis yang baru ia kenal belum satu bulan untuk menemaninya pergi.
“Mihnyun-si, maaf membuatmu lama menunggu.”
Minhyun berhenti memainkan ponsel ketika mendengar seseorang berbicara padanya. Ia lantas menaikkan pandangan menuju sosok tersebut. Seorang gadis yang mengenakan dress berwarna peach selutut kini tengah tersenyum ke arahnya, surai indahnya terkumpul dalam satu ikatan dan hal itu semua berhasil menarik Minhyun dari kesadarannya.
“Mihyun-si?”
Minhyun menggelengkan kepalanya cepat ketika mendengar suara gadis itu kembali memanggil namanya.
“O..oh, ti…tidak, a..aku baru tiba beberapa menit lalu.” Minhyun menyahut gagap, apakah ia terkena syndrome Asperger sekarang?
Gadis itu - Eunhye hanya bisa tersenyum melihat tingkah kaku Minhyun yang sibuk menggosok-gosok bagian tengkuknya sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Keheningan meliputi mereka sejenak hingga hembusan pelan angin malam menggerakkan ujung-ujung dress Eunhye. Hawa dingin itu ikut menyapa tengkuk Minhyun, membuatnya sadar jika ia telah membiarkan seorang gadis yang berdiri di depannya merasa kedinginan. Segera Minhyun berbalik dan membukakan pintu untuk Eunhye.
~
Tak ada pembicaraan semenjak kedua orang itu memasuki mobil, perasaan canggunglah yang sekarang mendominasi mereka berdua, terutama pada diri Minhyun yang masih kesulitan menormalkan detak jantungnya saat berada di dekat Eunhye. Dia akui, penampilan Eunhye malam ini terlihat sederhana namun terkesan mempesona, dan entah mengapa Minhyun merasa menjadi orang beruntung karena dapat bersama gadis itu. Ia sangat penasaran bagaimana tanggapan sahabatnya nanti ketika ia bisa memenuhi tantangan yang diberikan.
Minhyun berkali-kali melihat ke arah spion depan mobil, memperhatikan raut wajah datar Eunhye yang saat ini tengah memandang ke arah luar. Merasa jengah dengan situasi, ia pun berdeham hendak memulai pembicaraan.
Gomawo
Ucapan Minhyun berhasil membuat Eunhye menoleh ke arahnya.
“Karena kau mau membantuku malam ini.” Lanjut Minhyun.
“Aku senang membantumu, lagipula ini malam akhir pekan, dan kebetulan aku sedang tidak ada acara.”
Ya, Eunhye kembali diingatkan dimana malam itu teleponnya berdering karena panggilan seseorang yang tak lain adalah Minhyun. Pria itu memintanya untuk menemani ke acara pertunangan sahabatnya, dan Eunhye tak dapat menyembunyikan tawanya ketika Minhyun menceritakan alasan jika ia pergi ke acara itu tanpa membawa pasangan. Ia harus menerima hukuman dari sahabat kecilnya-begitu yang Eunhye ketahui, yang pasti itu adalah hukuman menggelikan yang pernah ia dengar.
“Eunhye-si, apakah ini tak masalah?” Minhyun menoleh sekilas ke arah Eunhye, kemudian berdeham sebelum melanjutkan kata-katanya, “Maksuduku..apa ini tak mengganggu seseorang?”
Eunhye mengernyit, ia memahami maksud perkataan Minhyun.
“Untuk saat ini, kurasa tidak.”
Perkataan Eunhye berhasil membuat Minhyun mengulum senyumnya. Walaupun Eunhye sendiri merasa tak yakin dengan dengan jawabannya barusan. Tapi bukankah itu kenyatannya, mengingat dirinya saat ini memang tak memiliki ‘status’ dengan seseorang. Entah kenapa ia berfkir untuk menjadikan ini sebagai alasan agar ia dapat memutus ikatan yang selama ini melingkupi dirinya, walau ia sendiri tau itu bukanlah hal mudah.
~
Eunhye cukup terperangah ketika mengetahui Minhyun membawa mobilnya memasuki salah satu kawasan elit, bisa ia tebak jika sahabat Minhyun bukanlah orang biasa karena mengadakan acara pertunangan di tempat berkelas yang biasanya disewa para pejabat maupun pebisnis.
Mereka kemudian berjalan bersama menuju sebuah bangunan yang terkesan klasik. Eunhye dapat melihat setidaknya ada lima karangan bunga dari beberapa perusahaan yang cukup ia ketahui namanya. Saat di perjalanan tadi Minhyun sempat mengatakan jika acara pertunangan ini adalah acara privasi, dan hanya orang-orang terdekat yang diundang. Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang sebenarnya ingin ia tanyakan kepada Minhyun sedari tadi.
“Minhyun-si, kalau aku boleh tau, siapa nama sahabatmu itu?”
Minhyun menghentikan langkahnya sebentar sebelum mencapai resepsionis acara.
“Moon Reina, kau tau Shinhan group, dia bekerja sebagai manajer utama di sana, dan Presdir Moon Jang Guk adalah ayahnya ”
Setika Eunhye menampakkan senyum kakunya, jika dugaannya benar Moon Reina yang dimaksud adalah orang yang sama dengan yang ada di fikirannya, maka itu berarti saat ini ia juga tengah menghadari acara pertuangan sahabatnya. Dan dugaannya semakin kuat, kala ia melihat Minhyun menunjukkan sebuah undangan kepada resepsionis acara, bentuknya persis seperti apa yang ia lihat beberapa hari lalu di dashboard mobil Chanyeol saat pria itu mengantarnya pulang.
Minhyun dan Eunhye kemudian memasuki area semi outdoor yang terlihat elegan, klasik, mewah dengan dekorasi yang menawan. Hwang Min Hyun, pria itu kemudian mengajak Eunhye untuk menyapa teman dan beberapa kolega kerjanya. Entah kenapa pria itu sangat bersemangat untuk mengenalkan sosok Eunhye, ia bahkan banyaj mendapat pertanyaan dan godaan karena tak biasanya seorang Hwang Minhyun membawa gadis. Eunhye sesekali tersenyum dan ikut dalam pembicaraan, namun sesuatu masih menarik perhatiannya sejak tadi, sebuah figura foto Park Chanyeol dan Moon Reina yang terpajang cantik di dekat sebuah taman air mancur. Tak terasa, sudut-sudut bibirnya terangkat, sebagai wujud rasa turut bahagia, namun ia juga tak dapat membohongi jika ada perasaan lain yang mengganggu hatinya.
Dalam keterdiamannya, tiba-tiba Eunhye merasakan seseorang menyenggol bagian belakangnya, membuat minuman yang dipegangnya hampir saja tumpah. Eunhye lantas berbalik dan melihat seorang gadis dengan wajah familiar membungkuk dan mengucapkan kata maaf berkali-kali.
“Maafkan aku agashi, maaf..”
“Sohee-si” sapa Eunhye, begitu ia mengenali sosok gadis itu.
“Eunhye eonni, kau kah itu?”  gadis yang dipanggil Sohee itu tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, ia lantas tersenyum girang dengan menunjukkan bentuk matanya yang khas.
 “Aku hampir tak mengenali eonni, kau sangat cantik malam ini.”
“Kau juga Sohee-a, kau terlihat lebih dewasa.” Eunhye memerhatikan sejenak penampilan Sohee yang mengenakan gaun berwarna biru muda dengan tatanan rambut yang digulung ke atas, membuatnya terlihat lebih berbeda.
Gomawo eonni, Eonni kemari bersama siapa?
Pertanyaan Sohee seakan membuat Eunhye sadar, ia terdiam sejenak memperhatikan sekitar, jika dugaannya benar, Sohee pasti datang bersama Sehun.
“Apa dia temanmu?” Ucap Minyun tiba-tiba, sepertinya pria itu telah memperhatikan pertemuan Eunhye dan gadis yang ada di depannya.
“Ah, Mihyun-a, kenalkan, dia Park Sohee, sebenarnya kami juga belum lama saling mengenal.”
Minhyun dan Sohee kemudian saling berjabat tangan memperkenalkan diri.
“Eonni, ternyata kau memang bohong padaku.” Ucap Sohee sedikit berbisik dengan mata memicing, mengingatkan kembali akan pertanyaannya beberapa waktu lalu tentang status Eunhye.
Eunhye hanya menanggapinya dengan tawa kecil, sebenarnya ia ingin meluruskan segala sesuatu yang ada di fikiran gadis itu mengenai sosok pria yang bersamanya saat ini, namun ia urungkan ketika melihat seseorang tengah berjalan ke arah mereka.
“Sohee-a.”
“Oppa, kau kemana saja? Aku hampir tersesat karena terpisah denganmu.”
Dugaan Eunhye memang benar, Oh Sehun datang ke acara ini bersama Sohee. Eunhye berniat menyapa namun Sehun tak sedikitpun menoleh ke arahnya, wajah pria itu terkesan datar. Ia ragu apakah Sehun memang sengaja tak mengenali dirinya.
“Oh, Sehun-si. Senang bertemu kembali.”
Eunhye mengernyit begitu melihat Minhyun mengulurkan tangannya dan dibalas Sehun. Dan selanjutnya terdengar pembicaraan singkat di antara mereka, dan Eunhye dapat menyimpulkan jika Sehun dan Minhyun pernah terlibat dalam hubungan bisnis.
“Oppa, kau ingat ketika aku kabur ke taman dulu, aku bertemu Eunhye eonni dan dialah yang mentraktirku makan siang.” Sohee berucap seraya menunjuk ke arah Eunhye, dan itu membuat Sehun ikut memandang ke arahnya.
“Sebenarnya kami adalah teman sejak sekolah menengah pertama dulu.” Ucap Sehun masih dengan tatapan datarnya pada Eunhye, seakan menujukkan jika mereka memang benar hanya teman biasa.
“Wah, benarkah, berarti Eunhye Eonni juga berteman dengan Chanyeol oppa.” Sahut Sohee dengan antusias.
Hingga detik berikutnya, terdengar dengungan mikrofon disertai suara MC yang mengatakan bahwa sebentar lagi acara akan dimulai.
“Acara sebentar lagi dimulai, ayo kita mendekat.” Ajak Minhyun seraya menarik pergelangan Eunhye, diikuti Sohee yang tak mau kalah dengan menggandeng lengan Sehun. 
~
Reina dan Chanyeol terlihat berjalan bersama menuju sebuah altar yang dipenuhi dekorasi bunga yang menjadi tempat acara puncak. Reina, gadis itu tak hentinya menebar senyuman, dan Chanyeol yang sesekali terlihat menunduk kepada beberapa orang yang sepertinya adalah para petinggi perusahaan.
Hingga acara puncak tiba, setelah sambutan dari pihak keluarga, kini saatnya Reina dan Chanyeol saling menukar cincin. Riuh tepuk tangan menyambut kedua insan itu. Diantara keriuhan, diam-diam Sehun memperhatikan Eunhye yang berdiri tak jauh darinya, mencoba menebak apa yang ada di hati gadis itu saat ini, namun tak sedikit pun  tergambar dari raut wajahnya.
Setelah acara tukar cincin selesai, Minhyun segera mengajak Eunhye untuk menemui sahabatnya. Sebenarnya inilah momen yang paling dinantikannya, menjawab tantangan yang diberikan Reina.
“Minhyun-a.”
Minhyun bahkan masih berada beberapa meter jauhnya, namun Reina telah lebih dulu meneriakkan namanya seraya melambai-lambaikan tangan. Awalnya ekspresi gadis itu begitu bahagia karena dapat melihat sahabatnya datang, dan ekspresi itu seketika berganti dengan keterkejutan ketika ia melihat Minhyun tengah menggandeng seorang wanita.
“Chanyeol-a, bukankah itu Eunhye?” bisik Reina seraya menyenggol lengan Chanyeol.
Chanyeol yang tadinya sibuk berbicara dengan salah seorang partner bisnisnya mengalihkan pandangan ke arah yang sama dengan Reina. Seketika panas tubuhnya meningkat beberapa derajat ketika melihat Eunhye yang tengah menggandeng seorang pria berjalan ke arahnya.
Reina segera memeluk Minhyun begitu sahabatnya itu tiba, sedangkan Chanyeol entah kenapa ia seakan mengalihkan pandangannya saat Eunhye menatap ke arahnya.
“Selamat.” Ucap Minhyun setelah melepas pelukannya.
“Tidak Min-min, akulah yang seharusnya mengucapkan selamat. You win the challenge.” Reina sedikit merendahkan suaranya di akhir perkataan, ia kemudian menoleh ke arah Eunhye.
“Hey, Eunhye, jujur saja padaku jika pria ini telah melakukan pemerasan padamu sehingga bisa mengajakmu kesini.”
Mendengar perkataan Reina, Eunhye hanya tertawa.
“Cukup mendengar alasan kenapa ia harus membawaku ke acaramu, dan aku dengan senang hati menemaninya.”
Jawaban Eunhye membuat Reina Ber-ooh ria, kemudian melirik kearah Minhyun dan mengutarakan kalimat-kalimat yang menggodanya, sedangkan Park Chanyeol, pria itu terlihat menghembuskan nafas kesalnya.
“Chanyeol-a, selamat atas pertunanganmu.” Eunhye akhirnya berani mengulurkan tangannya ke arah Chanyeol yang disambut ragu oleh pria itu, tak ada sahutan, hanya sebuah senyuman yang nampak dipaksakan.
~
“Kau mengenalnya?”
Chanyeol menoleh sekilas ke arah Sehun sebelum menenggak kembali winenya. Pandangan kedua pria itu kini tengah tertuju pada seorang yang tengah tertawa riang. Dan satu hal yang membuat kedua pria itu semakin jengah adalah sosok pria yang saat ini tengah bersama gadis itu.
“Aku tak begitu yakin, tapi dia adalah sahabat kecil Reina. Apa kau lupa, dialah si negosiator yang mengacaukan proyek kerjasama kita dengan perusahaan Mr. Bend waktu itu.”
Sehun mengernyit, mencoba mengingat kembali.
“Ahn cooperation.” Gumam Sehun yang ditanggapi Chanyeol dengan anggukan.
“Entah kenapa aku merasa sangat bersalah karena tidak mengundang Eunhye, dia pasti merasa kecewa.” Ucap Chanyeol kembali seraya menenggak sekaligus sisa wine yang ada di gelasnya.
Sedangkan Sehun hanya diam tak menanggapi, ia pun telah merasakan hal yang sama karena telah bersikap dingin kepada gadis itu.
~
Eunhye memijat pelan pelipisnya saat dirinya memasuki lift. Ia cukup banyak minum wine saat di acara pertunangan Chanyeol tadi. Tiba-tiba ia merasakan handphone di dompetnya bergetar. Ia kemudian mengambil handphone itu dan mengernyit ketika melihat beberapa panggilan tak terjawab dan pesan dari kontak yang sama, Park Chanyeol.
From : Park Chanyeol
Eunhye-a, maaf …
Sungguh aku tidak bermaksud untuk tidak mengundangmu,
Karena kupikir ini bukanlah acara yang serius,
Jadi… kumohon maafkan aku.
Bisakah kita bertemu nanti?

Eunhye tersenyum setelah membaca pesan dari Chanyeol, tak berniat untuk membalas, ia justru tenggelam dalam beberapa momen saat dirinya diajak Minhyun menghadri acara yang ternyata adalah pertunangan Reina dan Chanyeol. Keterkejutannya semakin bertambah ketika ia bertemu dengan Sehun dan Sohee. Eunhye akui, ia  merasa menjadi orang asing saat bertemu dengan kedua pria itu, Sehun dengan sikap dinginnya dan Chanyeol yang seakan menghindarinya.
Eunhye kemudian menekan password apartemennya, ia hampir saja kehilangan keseimbangan karena lampu otomatis di ruang depan sedang rusak, sehingga ia harus meraba-raba rak sepatu untuk meletakkan heels-nya. Baru beberapa langkah ia memasuki ruang tengah dan hendak menekan tombol lampu, tiba-tiba seseorang menarik tangannya dan menyudutkannya ke dinding. Eunhye bahkan belum sempat mengucakan satu katapun karena tiba-tiba sesuatu menyentuh bibirnya. Eunhye mencoba bergerak dan mendorong orang yang ada di depannya, namun justru tubuhnya semakin ditarik ke dalam pelukan. Hingga detik berikutnya Eunhye menyadari sosok pria yang saat ini menciumnya. Ruangan yang gelap memang tak bisa membantu penglihatannya, tapi ia bisa memastikan sosok pria itu hanya dengan mencium parfumnya, bau parfum yang beberapa kali menyapa indra penciumannya saat berada di acara pertunangan Reina.
Hingga menit berikutnya, tak ada gerakkan dari pria itu dan Eunhye memutuskan untuk sedikit menjauhkan wajahnya. Ia kemudian mengangkat netranya, mencoba menatap wajah pria dengan deru nafas yang masih menerpa wajahnya. Beruntung saat ini ia tengah berada di dekat jendela yang terbuka, angin malam menggerakkan tirai jendela itu, menembuskan cahaya bulan, memantulkan wajah seorang pria yang saat ini menatap dalam dengan obsidian tajamnya.
“Sehun-a…”
Pria itu-Oh Sehun, tak menyahut, ia justru  merengkuh wajah Eunhye dan menyatukan bibirnya kembali, kali ini bukan ciuman biasa, ia melumat bibir Eunhye dengan tergesa, seakan menyalurkan perasaan yang tengah berkecamuk di dalam dadanya.
“Aku pernah mengatakan bahwa suatu saat aku ingin pergi bersama dirimu yang mengenakan dress ini." Obsidian tajam pria itu menatap dalam manik Eunhye, tangannya bergerak turun, menggaris lurus bagian bawah dress Eunhye.
“Aku kecewa karena kau mengingkarinya.”
Seketika manik Eunhye berubah, memang Sehunlah yang membelikan dress ini saat ia menemaninya berbelanja. Dan untuk janji itu, apakah ia memang benar-benar lupa?
“Sehun-a, aku…”
Eunhye tak berniat melanjutkan kata-katanya, ketika jemari Sehun naik menyentuh anak-anak rambutnya, turun kewajahnya yang merona, kemudian mengusap lembut bibirnya yang sedikit basah. Menunjukkan sikapnya yang sangat berbeda dari sosok dirinya saat berada di acara pertunangan Chanyeol tadi terhadap Eunhye.
“Kumohon, jangan pernah berubah Eunhye. Jangan pernah”
Detik berikutnya Sehun kembali mendaratkan ciumannya, mengeratkan pelukannya pada tubuh gadis itu seakan menguatkan ikatannya agar Eunhye tak bisa lepas dengan mudah dari dirinya.
Sedangkan Eunhye kembali tenggelam dalam dilema, walau di hatinya ada rasa yang bergejolak hebat, mengumpat atas segala ketidakmampuan mewujudkan niat untuk mengakhiri semuanya.
Haruskah ia menyerah saja.


Author’s Note :
Entah kenapa nyelesaian part ini berasa kaya “in the middle of no where” ditambah tensi ISOME (*baca kebalik) yang naik pas nulis bagian akhirnya.. kkekke
So, I hope this part won’t disappoint you. Keep your eyes on this story ya guys.. gomawo!




Rabu, 11 Oktober 2017

The Sheet of Goose Dream (Ficlet)







THE SHEET OF GOOSE DREAM
By Shin Eun So / Nugichan (WP)
Wanna One’s Lee Daehwi, Wanna One’s Bae Jin Yong | Hurt / Comfort, Friendship | General | Ficlet

Juga di post di https://wannaoneffindo.wordpress.com/

Lampu sorot telah menyala, mengarah pada sosok yang saat ini tengah berdiri di panggung. Sudut-sudut bibirnya tak henti terangkat, walau ia sendiri tak bisa memungkiri getaran hebat di kakinya
         
“Lee Daehwi-si, apa anda sudah siap?” terdengar suara dari ujung panggung.

Daewhi mengangguk mantap kemudian menatap layar lebar di depannya, berharap kali ini ia mendapat lagu yang tak begitu sulit.

“Stop.” Ucapan Daehwi menghentikan putaran roulete pada layar besar yang kemudian menampilkan sebuah judul lagu.

“Baiklah, kau akan menyanyikan lagu Goose Dream.”

Alunan nada intro pun mulai terdengar. Daehwi menarik nafas dalam. Empat baris lirik pertama mampu ia nyanyikan dengan nada sempurna dan penuh penghayatan,   hingga indra pendengarnya menangkap suara yang menyahut dari sebelah kiri panggung. Membuat tubuhnya menegang dan suara di tenggorokannya terasa tercekat. Bagaimana bisa sosok itu kembali?

6 years ago

Daehwi berlari menelusuri lorong sekolah, hingga langkah kakinya tiba di bibir pintu sebuah ruang kelas, bola matanya menelusuri seisi kelas hingga menemukan sosok yang dicarinya tengah sibuk mencatat sesuatu.

“Jinyoung, dua menit lagi.”

Pria yang dipanggil Jinyoung itu melihat ke arah pintu, ia tersenyum dan mengangguk, menutup bukunya dan segera berlari menyusul Daehwi yang berada lebih dulu di depannya.

“Kalian terlambat 40 detik, cepat ambil posisi, kalian akan tampil setelah penampilan drama.”

Daehwi dan Jinyoung mengangguk patuh kemudian berjalan ke sisi panggung untuk mengambil sheet lagu mereka.
            
“Dua minggu lagi, entah kenapa aku semakin gugup.” Ucap Daehwi, sambil membayangkan dirinya dan Jinyoung berdiri di atas panggung pentas seni akhir tahun, sebuah pentas bergengsi karena melibatkan seluruh sekolah di Kota Seoul dan tentunya hanya siswa-siswa pilihan yang dapat tampil di sana.
            
“Lagu goose dream adalah lagu yang berisi mimpi-harapan-dan perjuangan. Salah satu mimpiku adalah menyanyi di atas panggung besar dan disaksikan ribuan mata, dan hal itu sebentar lagi akan terwujud.” Jinyoung berkata dengan antusias.
           
Semangat Jinyoung mampu mengurangi sedikit beban kegugupan Daehwi. Dari lubuk hatinya ia menaruh harapan besar pada sahabatnya itu.

~
           
“Maaf aku tidak bisa latihan hari ini karena harus membantu ibuku, dia sedang sakit.”
           
Daehwi mengangguk dan tersenyum “Tak apa Jinyoung-a, semoga ibumu cepat sembuh.”
            
Daehwi dapat memahami bagaimana kondisi sahabatnya Jinyoung sebagai anak sulung yang harus membantu ibunya yang seorang single parents. Tiga hari, empat hari, hingga enam hari, Jinyoung selalu berpamitan pulang lebih dulu karena alasan ibunya yang sakit. Melihat absensinya Jinyoung membuat pelatih Yoon berniat menggantinya. Namun Daewhi tetap bersikeras untuk mempertahankan sahabatnya untuk tetap tampil di pentas, bahkan ia berbohong mengatakan bahwa ia dan Jinyoung masih sempat melakukan latihan di luar sekolah.
            
Hingga satu minggu berlalu dan  Daehwi memutuskan untuk mengunjungi ibu Jinyoung.
            
“Aku hanya demam dan izin bekerja selama dua hari, sekarang keadaanku sudah membaik.”
            
Daehwi begitu terkejut mendengar pengakuan ibu Jinyoung, membuat sebuah pertanyaan besar di kapalanya. Jadi kemana Jinyoung selama ini?
            
Akhirnya sepulang sekolah tanpa sepengetahuan Jinyoung, ia memata-matai dari kejauhan. Satu hal kembali menjadi kejutan bagi Daehwi saat melihat Jinyoung tengah bersama seorang gadis yang ia tahu bukan salah satu siswa di sekolahnya. Jinyoung telah berubah. Daehwi mengepalkan tangannya, ia menghela nafas kecewa.
~
           
 Pelatih Yoon begitu terkejut dengan keputusan tiba-tiba dari  Daehwi.
           
 “Kau benar-benar ingin membatalkan penampilanmu?”
            
“Ya, Ayah sudah mulai bekerja lusa jadi kami harus pindah secepatnya. Lagipula hampir dua minggu kami tidak latihan, walaupun harus tampil aku yakin hasilnya pasti mengecewakan.”
           
 Pelatih Yoon hanya bisa menghela nafas, ia sudah mendengar alasan kenapa Jinyong tak lagi ikut latihan dan kekecewaan Daehwi atas dirinya.
            
“Baiklah, semoga kau baik-baik saja di Amerika.”
           
Daehwi menunduk pamit dan berjalan keluar aula. Saat langkahnya hampir mencapai pintu gerbang sekolah, ia kembali membalikkan badan, menatap para siswa yang tengah berlalu lalang, sibuk untuk persiapan pentas malam besok. Entah kenapa saat itu ia berharap melihat seseorang mengejarnya dan menahan langkahnya untuk tetap tinggal.

~
           
Kilasan kejadian enam tahun lalu membuat dada Daehwi terasa sesak, ia bahkan tidak mampu lagi mengontrol nada lagu yang dibawakannya, semua karena suara yang saat ini mengiringi nyanyiannya. Suara yang sangat ia kenali.

           
Daehwi masih bernyanyi.
           
            
Hingga tirai dari sisi panggung terbuka.


Hal yang pertama di lihatnya adalah wajah pria itu, Bae Jinyoung dengan sorot mata yang masih sama.

          
Daehwi sempat tercekat ketika melihat sosok yang pernah ia panggil dengan sahabat itu duduk di atas kursi roda.

            
Dan Daehwi masih terus bernyanyi, walau mulai terdengar getaran dari suaranya.

            
Hingga maniknya kembali menelusuri sosok Bae Jinyoung yang terlihat kurus dengan kemeja cokelat dan celana hitam panjang.


Namun Daehwi tak menemukan sepasang sepatu yang dikenakannya.

            
Seketika  itu juga suara Daehwi menghilang. Ia menutup mulutnya, mencoba menahan isakan. Detik berikutnya tangisnya pecah, ia bahkan tak dapat memperhatikan lagi bagaimana penilaian juri pada panggung grand-final nya itu.
~
            
Jinyoung terus mengayuh sepedanya cepat, walau ia tak yakin dapat bertemu 
Daehwi. Buliran air mata terus membasahi wajahnya. Ia sangat sedih sekaligus kecewa, bagaimana bisa Daehwi pergi tanpa mengatakan apapun padanya.
           
 “Daehwi-a, maafkan aku. Kumohon kembalilah, ayo kita bernyanyi bersama.” Teriaknya.
            
 Ia bahkan tak memperhatikan sebuah truk yang melintas cepat dari arah berlawanan.

Dan detik berikutnya tubuhnya terlempar ketengah jalan. Sorot matanya masih terlihat, ia lantas bergumam tentang janji unutuk mewujudkan mimpi yang pernah ia ucapakan pada Daehwi, walau ia sendiri tak tahu kapan. Dan gumaman itu berakhir ketika suara klakson kembali terdengar dan membuat Jinyoung tak lagi merasakan sakit di kakinya.

FIN
           

Kok alurnya jadi gaje gini ya, tema yang seharusnya cheer up -  motivated, jadinya malah mellow (lagi) hehe.
           

             


Jumat, 29 September 2017

The Crown Prince (Ficlet)


The Crown Prince
by Shin Eun So
EXO’s Kim Jongdae (Chen), OC’s Kim Jongmi, | Family, Saeguk, Manipulation Age | Ficlet


Jeoooha” lengkingan keras dari para Kasim justru membuat langkah si putra mahkota semakin cepat, melewati bangunan utama istana Changgyeonggung , bahkan jubah biru malamnya tak menjadi penghambat kelincahan kaki-kakinya. Beruntung hampir seluruh para pengawal istana sedang pergi berperang bersama Raja.
Kim Jongdae- Sang Putra Mahkota mengintip pelan dibalik tiang besar bangunan istana, para Kasim yang mengejarnya masih belum terlihat. Kesempatan itu ia gunakan untuk berlari kearah gerbang timur istana. Entah keberuntungan atau hanya kebetulan, sang pangeran menemukan kuda tunggangannya, dan tanpa pikir panjang ia segera memacu kudanya meninggalkan istana.
~
Blubb.. suara batu yang dilemparkan memecah ketenangan air danau, berbaur dengan suara katak, ditambah suara mistis yang berasal dari lambungnya. Jongdae sadar sejak insiden kaburnya ia dari istana hingga matahari yang telah melewati batas ubun-ubun, ia tak sempat mengunyah satupun makanan. Seekor katak yang tengah menggunakan lidah panjangnya menangkap capung di atas teratai menarik perhatiannya. Katak itu kemudian nampak memandang ke arah Jongdae seraya mengeluarkan bunyi, seakan berbicara padanya.
          “Aigooo… kau mengejekku huh? Semudah itu kau mendapat makanan.”  dengan kesal ia melempar batu berukuran cukup besar ke arah si katak, namun batu itu melesat jatuh ke dalam air.
          Jongdae kembali megerang kesal sembari memegang perutnya yang kian terasa menusuk. Kini ia hanya menyandarkan dirinya di batang pohon besar yang tumbuh tepat dipinggir danau, bahkan  iksongwan  yang ada di kepalanya tak lagi beraturan, hingga anak-anak rambutnya terlihat keluar. Sesekali ia menggaruk kepala dan bagian tubuhnya yang terasa gatal, mungkin serangga di sekitar danau tak ingin ketinggalan menggoda si Pangeran yang baru kabur dari istana itu.
                   
~
          Beberapa orang berkuda dipimpin seorang wanita dengan pakaian khas istana dengan rambut dikepang satu dan diikat pita menembus hutan. Tiba di persimpangan, ia memerintahkan beberapa orang pengawalnya mengambil jalan barat, sedangkan dirinya dan beberapa lagi melewati jalan timur. Saat di perjalanan, wanita itu tiba-tiba teringat sesuatu, ia menghentikan lari kudanya, kemudian merubah arahnya menuju selatan, mengikuti suara hatinya yang terus menguarkan nama danau gaeguli.
          Wanita itu mengangkat tangan, isyarat perintah kepada dua pengawal yang mengikutinya untuk berhenti. Maniknya menajam saat menemukan objek yang dicarinya tengah uring-uringan di bawah pohon pinggir danau. Ia lantas turun dari kuda dan berjalan mendekati sosok tersebut.
          “Wangseja-nim..”
          Jongdae yang mengenali suara tersebut segera menegakkan tubuhnya dan merapikan iksongwan yang ada di kepalanya, namun sedikitpun ia tak berniat memalingkan wajahnya.
          “Sebaiknya Nunim kembali karena aku tak akan pulang ke istana.”
          Sahutan Jongdae membuat senyum simpul di wajah gadis yang tak lain adalah kakak perempuannya – Kim Jongmi, ia sudah paham betul bagaimana sifat adiknya yang tengah berada pada masa pubertas itu.
          “Aboeji sebentar lagi akan sampai di istana, kau tak ingin menyambutnya?”
          Mendengar kabar bahwa Ayahnya sebentar lagi akan datang membuat Jongdae bergidik. Sepintas bayangan mengerikan menghantui pikirannya.
          “Aku tetap tak akan kembali ke istana, atau sebaiknya aku tak usah kembali lagi untuk selamanya” 
          “Kim Jongdae, jaga bicaramu.” Jongmi meninggikan suaranya, tak setuju dengan perkataan adiknya.
          “Nunim, cobalah mengerti bagaimana rasanya menjadi putra mahkota, seharian hanya menghabiskan waktu untuk belajar. Belum lagi dengan aturan istana yang benar-benar membosankan. Aku lelah menjadi Putra Mahkota dan kehidupan istana. Kalaupun kutukan memakan katak di danau ini bisa merubah manusia menjadi salah satu dari mereka itu benar, aku akan melakukannya, jadi aku tak perlu lagi terikat dengan kehidupan istana”
          Mendengar pernyataan Jongdae, Kim Jongmi lantas mendekat ke tepian danau, dengan cekatan gadis itu mencari seekor katak, tak selang lama kemudian ia berhasil mendapat seekor katak berwarna hijau.
          “Ini, makanlah, apa perlu aku potongkan untukmu?” Tanya Jongmi sambil mendekatkan katak ke arah Jongdae, namun si Pangeran justru melangkahkan kakinya mundur sambil bergidik.
          “Lihat, bahkan menyentuh katak pun kau geli, bagaimana bisa kau berani memakannya?”
          “Yaa..Nunim aku tak berbicara serius tadi.”
          Jongmi melepaskan kembali katak dari genggamannya seraya menatap wajah masam adiknya. Sejenak tercipta keheningan di antara mereka berdua. Jongdae kembali memandang ke arah danau, tepat pada bayangan dirinya yang seakan menahannya untuk tetap diam di tempat itu.
          “Andai saja aku tidak memecahkan guci air suci itu, mungkin tidak akan serumit ini.”
          Mendengar ujaran Jongdae yang sarat penyesalan mengingatkan Jongmi kembali pada kegaduhan pagi tadi, diawali dengan teriakkan Halma Mama yang membuat seluruh penjuru istana panik. Guci berisi air suci milik Raja yang pecah, serta Pangeran Jongdae yang berlari dikejar-kejar para Kasim kemudian pergi meninggalkan istana. Hingga matahari semakin berpendar ke barat, ia tak jua menemukan sosok adiknya itu di istana.
          Kedatangan seseorang membuyarkan keheningan di antara mereka, Dayang Ma,  baru saja tiba dengan beberapa orang kasim. Ia menunduk hormat kemudian meminta izin kepada Jongmi untuk membisikkan sesuatu, mendengar bisikkan itu, raut wajah Jongmi berubah seketika. Jongdae yang memperhatikan mereka yakin jika Dayang Ma datang membawa berita dari kerajaan, lebih tepatnya berita buruk untuknya.
          “Nunim, kumohon jangan beritahukan keberadaanku pada Aboedji, aku benar-benar tidak ingin dihukum.”
          Kim Jongmi menggeleng-gelengkan kepalanya seraya memasang raut wajah tegas, tak peduli dengan wajah pias adiknya “Kau sudah tertangkap yang mulia, Joeha. Kau tidak bisa lari dari hukuman, sekalipun aku kakak kandungmu, hukum kerajaan harus tetap dijalankan.”
          Seketika itu juga Jongdae berlutut di depan Jongmi, ia menundukkan kepalanya dalam, suara isak mulai terdengar diantara tarikan nafasnya.
          “Nu..nim kumohon. Aku tidak akan nakal lagi, aku akan berusaha menjadi putra mahkota yang baik, dan aku ..merestui hubunganmu dengan Panglima Chanyoel.”
          Pernyataan Jongdae terakhir membuat Jongmi tak sanggup lagi menahan tawanya. Jongdae hanya menatap kakaknya heran.
          “Sekarang aku percaya dengan ucapanmu tempo hari tentang gangguan penglihatan halma mama, guci itu bukan guci yang berisi air suci, hanya guci biasa yang akan digunakan pada ritual di kuil nanti”
          Tak ada satupun kelegaan yang dirasakan Jongdae, alih alih melihat kakaknya yang masih sibuk tertawa, ia lebih memilih memandang ke arah danau, dan sesuatu membuat rasa kesalnya semakin bertambah.
          Seekor katak berwarna kebiruan baru saja berhasil memangsa laba-laba yang berukuran cukup besar, katak itu kemudian menghadap ke arahnya dan menjulurkan lidahnya yang panjang dengan cepat seakan mengolok dirinya. Sang Putra Mahkota masih merasa lapar.  


The TEEN-ACE (Chapter 3)


Tittle               : The TEEN-ACE (Chapter 3)
Casts               : Yoo Raeun (OC)
                          Kim Sohye (ex IOI)
                          Park Ji Hoon (Wanna One)
                          Hwang Min Hyun (Wanna One)
                          Joen Somi (ex IOI)
                          Jung Chaeyeon (DIA)
                          Kim Jae Hwan (Wanna One)
                          Ha Soek Jin (Actor)
Author : Shin Eun So / Nugichan (Wp)
Genre              : AU, School life, Romance
Length            : Chapter
Ratting           : General
Disclaimer      : This FF is truly mine. No Copy No Plagiat. Enjoy Reading !

"I was locked by your face"

Sohye yakin dirinya belum terlambat, dengan langkah sigap ia memasuki ruangan yang terpias warna jingga. Satu kejutan lagi bagi Sohye ketika maniknya menangkap objek yang tengah dilahap oleh kobaran api yang kian detik kian membesar, ia dapat dengan jelas melihat bagian yang bertuliskan soal kompetisi fisika dengan nama dan logo universitas yang telah menjadi bahan pembicaraan sekolah akhir-akhir ini. Ia kemudian memutar badannya dan berkeliling ruangan mencari alat pemadam kebakaran, namun tak berhasil mendapatkannya. Sohye segera berlari ke luar menuju beberapa ruangan terdekat berharap dapat menemukan alat pemadam api, namun ruang-ruang tersebut sudah terkunci. Ia pun terus berlari menuju ruang lainnya sembari berteriak berharap ada seseorang yang mendengarnya, tiba-tiba dirinya terpikirkan sesuatu, alarm sekolah, namun keanehan lain kembali terjadi saat ia mencoba membunyikan alarm tersebut, tidak berfungsi. Sohye  menggerutu kesal, kenapa di saat seperti ini ia tak menemukan satupun penjaga sekolah yang bertugas melakukan shift malam. Tarikan nafasnya semakin cepat dan suaranya kian serak, akhirnya Sohye memutuskan menuju ruang kebersihan, dengan cepat ia mengambil beberapa kain lap kemudian membasahinya.
Masih dengan nafas terengah-engah dan buliran keringat yang membasahi tubuhnya, Sohye kembali berlari dengan beberapa kain basah di tangannya. Tiba di ruang guru, maniknya tak lagi menemukan cahaya api, melainkan beberapa penjaga sekolah yang memandang heran kedatangannya.
~
Raeun yang  baru saja mendapat kabar tentang insiden terbakarnya soal-soal kompetisi fisika segera menuju kelas A dengan langkah terburu-buru. Setibanya di sana mata Raeun berkeliaran mencoba mencari sosok yang benar-benar ingin ia temui, namun pemandangan yang ia temukan hanya beberapa siswa yang  sibuk dengan laptop dan buku-buku pelajaran.
“Jihoo, dimana Sohye?” Raeun langsung bertanya begitu melihat salah satu siswa kelas A yang hendak menuju kelasnya.
“Bukankah dia sedang ada di ruang sidang sekarang?”
Raeun membulatkan kedua matanya, sekarang ia benar-benar percaya kabar dijadikannya Sohye sebagai tertuduh insiden itu. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju ruang sidang. Setibanya di sana Raeun berdecak miris, tak ada satupun siswa dari kelas A yang menunjukkan keberadaannya untuk memberi dukungan kepada Sohye, padahal sekarang adalah jam istirahat. Sohye pasti benar-benar merasa kesepian.
Dari balik kaca jendela ia dapat melihat raut kelam wajah Sohye yang tengah diadili oleh beberapa guru dan kepala sekolah, tak jauh darinya duduk seorang pria yang ia yakini adalah ayahnya. Dengan gelisah Raeun menunggu sesekali ia melihat ke dalam ruangan, hingga tak berapa lama kemudian kepala sekolah dan beberapa guru terlihat melangkah keluar dari ruangan itu.
 “Sohye-a” Raeun segera menghampiri Sohye yang baru saja keluar diikuti oleh ayahnya
“Anyoenghaseo, samcheon.” menyadari kehadiran ayah Sohye, Raeun segera membungkuk untuk menyapa yang dibalas ayah Sohye dengan senyuman.
“Ayah akan menunggumu di depan gerbang sekolah.” Ujar Ayah Sohye sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan berdua.
Gwenchana?” Tanya Raeun. Sohye hanya mengangguk pelan disertai satu senyuman yang terbit dari bibirnya, seakan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun Raeun mengetahui apa yang tengah dirasakan Sohye sekarang dari matanya yang terlihat sembab.
Gomawo atas kepedulianmu, walau tidak sekelas, aku benar-benar merasa kau adalah classmate ku.”
Raeun ikut tersenyum mendengar pernyataan Sohye, dugaannya benar jika Sohye tak memiliki satu teman pun di kelasnya, terbukti sekarang tak ada satu pun siluet dari siswa-siswa kelas yang paling dibanggakan itu datang mengungjunginya. Raeun tahu sekarang bagaimana kehidupan kelas A yang sebenarnya, membuatnya melempar jauh sisa-sisa keinginannya dulu untuk masuk ke kelas A saat tahun pertama menjadi siswa Tourin.
 “Sohye-a, aku ada di pihakmu.” Ucap Raeun kembali seraya menepukkan  kepalan tangannya di dada.
Sohye lantas tersenyum, ia dapat melihat kesungguhan dari tatapan mata Raeun. Namun bahunya kembali lemas mengingat sanksi yang ia dapat dari sidang tadi “Mungkin selama seminggu ke depan kita tak akan berjumpa di sekolah”
Hwaiting Sohye-a, tetaplah kuat seperti akar pohon pegunungan  yang mampu menahan air dan tanah sekaligus, Ini hanya persoalan waktu, jadi bersabarlah.”
Mendengar perkataan Raeun membuat Sohye terharu sehingga ia tak mampu lagi menahan tangisnya. Raeun yang mengerti kemudian memeluknya, mencoba memberi kekuatan, ia yakin jauh di dalam diri Sohye ada sosok kuat.
                Tanpa disadari seseorang tengah memperhatikan mereka dari jauh, Ji Hoon menarik nafasnya dalam, ia tahu hal ini akan terjadi. Jauh dalam hatinya ada rasa iba terhadap gadis itu, namun diatas perasaan itu, ada hal lebih yang menarik dirinya untuk keluar dari batas yang selama ini ia buat, dan Ji Hoon bertekad untuk melewati satu dari batas itu.
~
                Tuan Joen memijat pelan pelipisnya, baru saja ia terlibat negosiasi serius dengan perwakilan Universitas London. Pihak mereka telah mengetahui kabar terbakarnya soal-soal kompetisi Fisika, dan hal itu hampir saja membatalkan perjanjian kerjasama yang telah susah payah dibuat oleh sang komite utama Tourin School.
                “Kompetisi ini akan ditunda sampai bulan depan. Bagaimanapun juga aku tak ingin ada kejadian seperti ini terulang lagi”
                “Ye. Tuan Joen” sahut Kwang Ji Hae, kepala sekolah Tourin dengan penuh hormat. “Kami juga sudah memberikan sanksi kepada salah seorang siswa yang terbukti melakukan pembakaran tersebut.”
                Tuan Joen mengernyitkan alisnya, ia memang mendengar jika kebakaran itu diakibatkan salah seorang siswa, namun dirinya tak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut.
                “Yang penting kompetisi itu tetap berlanjut dengan melibatkan seluruh siswa. Aku yakin, ini salah satu cara untuk mengetahui potensi yang selama ini anak itu sembunyikan.”
                Kepala sekolah Kwang mengangguk tersenyum, dari awal dirinya memang sudah tahu apa tujuan utama direktur Joen mengadakan kerjasama dengan Universitas London tersebut, itulah mengapa walau terjadi insiden, Tuan Joen tetap mempertahankan komitmennya.
~
                Cuaca malam yang cukup menggelitik kulit serta suasana sekolah yang sepi dengan pencahayaan minim tak menghalangi langkah seorang gadis untuk menuntaskan misinya malam ini. Semenjak insiden pembakaran soal kompetisi Fisika, penjagaan sekolah semakin diperketat. Namun setelah ia terlibat pembicaraan yang cukup panjang lebar dengan Sohye siang tadi tentang kejanggalan pada CCTV yang ditampilkan saat sidang, membuat tekad gadis yang tak lain adalah Yoo Raeun untuk mencari kebenaran semakin kuat.
                Berbekal cahaya ponsel, Raeun berjalan pelan melewati lorong sekolah, saat ini tujuannya adalah ruang monitor CCTV. Beruntung Raeun hafal letak CCTV yang ada gedung sekolah itu, sehingga ketika ia melewati bagian yang terekam lensa kamera, ia akan mematikan cahaya ponselnya. Pakaian berwarna gelap yang ia kenakan sangat membantunya berkamuflase. Tiba di depan ruang monitor, Raeun mendapati pintu yang terlihat renggang, sepertinya petugas penjaga ruang  tersebut tengah keluar. Kesempatan itu tak ia sia-siakan, segera ia masuk ke ruangan itu dan menemukan beberapa komputer yang masih menyala, dengan cepat Raeun menggerakkan kursor dan mencari data rekaman CCTV 2 hari yang lalu.
Tak lama  terdengar suara langkah kaki dan cahaya lampu menuju ruang monitor, namun hal tersebut sama sekali tak disadari oleh Raeun yang masih asyik menggeledah file rekaman CCTV. Hingga langkah kaki penjaga itu semakin mendekat, sebuah tangan membekap mulut Raeun dan menyeretnya menuju sisi lemari yang cukup besar di ruangan itu. Raeun begitu terkejut, membuat jantung dan nafasnya berirama cepat, ia hendak berteriak namun diurungkannya ketika melihat penjaga masuk ke ruangan itu.
Hanya seling detik berikutnya,  si penjaga kembali keluar ruangan setelah menggumamkan sesuatu yang ditinggalkannya. Setelah penjaga itu menjaih, Raeun segera menarik tangan yang membekap mulutnya dan mengarahkan cahaya ponselnya kewajah orang itu.
“Park ..Ji Hoon..”
~
             Raeun masih memperhatikan gerak-gerik namja yang tengah sibuk memeriksa sudut ruangan guru itu. Entah kenapa ia selalu diliputi rasa kesal jika berhubungan dengan siswa bernama Park Ji Hoon ini, terbukti dengan kejadian malam itu saat dirinya tiba-tiba dibekap dan diseret ke sisi lemari, untunglah jantungnya kuat menahan semua keterkejutan itu.
             “Ya, kenapa berdiri saja? Carilah sesuatu sebelum penjaga itu menyalakan CCTV ruangan ini.”
             Mendengar teguran dari Ji Hoon membuat Raeun beranjak dari keterdiamannya, sebelum kesini mereka telah menonaktifkan CCTV ruang guru agar memudahkan investigasi.
             Raeun terlihat serius mendalami kegiatan investigasi itu, ia mencoba mencari benda yang kiranya dapat memberi mereka petunjuk dengan insiden yang telah melibatkan Sohye. Saat bola matanya menelusuri bagian rak atas lemari berkas tiba-tiba ia melihat lampu CCTV yang kembali menyala, sosok mereka mungkin tak terlihat karena ruang guru yang gelap, namun cahaya dari ponsel yang mereka gunakan bisa menunjukkan keberadaan mereka.
             “Ji Hoon, matikan pon.. aakk” Raeun yang hendak berjalan menuju Ji Hoon tiba-tiba terhenti ketika ia merasakan sesuatu menusuk kakinya.
             Ji Hoon yang melihat Raeun meringis sambil memegang kakinya segera menghampiri, ia kemudian memeriksa kaki Raeun yang nampaknya terluka.
             “Kita harus meninggalkan ruangan ini sekarang.”
~
Dengan tertatih Raeun berjalan menuju sebuah bangku. Mereka hampir saja tertangkap mata oleh para penjaga, namun mereka berhasil kabur dan singgah di taman kota yang tak jauh dari sekolah Tourin. Raeun kembali meringis ketika melihat darah yang semakin banyak keluar dari luka dari kakinya. Ia kemudian memperhatikan JI Hoon tengah mengambil sesuatu dari motornya yang terparkir tak jauh dari tempat duduknya.
 “Kau membawa obat-obatan?” Tanya Raeun heran ketika melihat Ji Hoon menghampirinya dengan sebuah kotak transparan yang dapat dilihat dengan jelas isinya adalah perlengkapan P3K. Ia tak menyangka, siswa yang cukup liar seperti Ji Hoon ternyata juga peduli dengan keselamatan.
“Aku selalu membawanya dalam jok motorku, sini, biar kulihat luka kakimu.”
Raeun dengan ragu mengangkat kakinya yang terluka “Apa karena sering berkelahi atau balapan liar kau jadi membawa obat-obatan?”
“Tidak juga, salah satunya bisa jadi karena kecerobohan seseorang. Seperti dirimu.”
Raeun mencibir mendengar perkataan Ji Hoon, raut wajahnya berubah menjadi meringis saat Ji Hoon mengoleskan cairan anti septik pada lukanya.
“Ternyata tak hanya diriku yang berada pada pihak Sohye.” Ujar Raeun seraya menatap Ji Hoon, mendengar itu Ji Hoon hanya menoleh sebentar kemudian focus mengobati luka Raeun“ Sejak awal aku merasa kejadian ini sudah janggal. Mana mungkin siswa yang mendapat julukan penakluk rumus fisika seperti Sohye ingin mengacaukan kompetisi itu” Lanjut Raeun.
“Posisi Sohye memang rumit, karena dia menjadi satu-satunya saksi saat kejadian, belum lagi bukti-bukti yang mengarah padanya. Aku yakin ini hanya sebuah provokasi yang memanfaatkan Sohye.”
Raeun mengangguk-angguk setuju dengan pendapat Ji Hoon,
“Tapi, kenapa kau juga ingin mengungkap kasus Sohye, apa jangan-jangan kau…” belum sempat Raeun menyelesaikan perkataannya, Ji Hoon menyela.
“Sebaiknya kita pulang.”
~
Mianhae Racoon-ah, unnie tiba-tiba saja mengantarkan Jun kerumahku. Dia ada rapat mendadak dengan atasannya. Mana mungkin kan aku membawa Jun bersamamu ke Namsan Tower?”
Raeun menghela nafas panjang, akhir pekan ini ia dan Chaeyeon berencana pergi ke Namsan Tower untuk mengambil beberapa foto yang akan dikirim pada lomba fotografi, namun mendadak Chaeyeon harus menjadi babysitter keponakannya pagi itu. Padahal deadline pengumpulan foto tinggal 1 hari lagi, mau tidak mau Raeun harus pergi hari itu juga.
“Pasti akan sangat merepotkan membawa anak kecil, tak apa Chaeyoen, aku bisa pergi sendiri.” Ucap Raeun dengan nada riang sembari memandangi kakinya yang diperban, ia tak ingin menceritakan kondisinya saat ini kepada Chaeyeon, sahabatnya itu pasti sangat khawatir dan merasa tak nyaman karena tak jadi menemaninya.
                Raeun duduk termenung di kursi halte bis, ia masih ragu apakah ia harus pergi ke Namsan Tower, padahal jaraknya cukup jauh, belum lagi ia kesulitan berjalan karena kakinya yang sakit. Tiba-tiba sebuah kendaraan berhenti di depannya.
                “Jihoon” Raeun mengernyit heran ketika melihat Jihoon berhenti di depannya.
                “Naiklah.”
                “Tidak perlu, aku akan menunggu bus saja.”
                “Dengan kondisi kaki seperti itu?” Tanya Jihoon dengan pandangan matanya menuju pada kaki Raeun.
                Raeun hanya terdiam, sebenarnya ia masih ragu dengan tujuannya saat itu.
                “Aku tau tempat wisata yang bagus dijadikan objek foto.”
Kali ini perkataan Ji Hoon mampu menghilangkan sedikit keraguan Raeun walau ia tak tahu pasti kemana Jihoon akan membawanya.
~
                Raeun memandang takjub pemandangan yang saat ini terhampar di depan matanya. Sungai jernih dengan aliran yang begitu tenang,  dihiasi dengan pepohonan ginkgo dengan daun keemasan yang tumbuh disisinya.  
                “Dulu ini adalah tempat wisata, namun seiring dengan pembangunan, tempat ini  terlupakan. Lihat saja sebagian besar pengunjung di sini adalah orang tua. Tempat ini tak diperhatikan lagi, beberapa fasilitasnya bahkan mengalami kerusakan parah.” Jelas Ji Hoon.
                Raeun memperhatikan sekelilingnya, dan benar saja sebagian besar pengunjung di sana adalah mereka yang diperkirakan berusia di atas 40 tahun, bisa di bilang hanya mereka berdua yang berusia muda di sana..
                “Akan sangat bagus jika kau menjadikannya sebagai objek fotomu, kau bisa mengangkat keberadaan tempat wisata ini lagi.” Lanjut Ji Hoon.
                Raeun tersenyum, Ji Hoon benar. Kenapa ia menargetkan tempat-tempat yang sudah terkenal untuk menjadi objek fotonya. Padahal masih banyak di tempat-tempat yang memiliki potensi untuk dijadikan tempat wisata, dengan begitu pemerintah pasti akan lebih memberikan perhatiannya.
Dengan semangat Raeun mengeluarkan kamera yang beberapa hari lalu dipinjamkan Mihyun dari dalam tasnya. Dia kemudian mengarahkan lensanya menangkap pemandangan yang terlihat sangat alami. Bahkan Raeun berkali-kali berpindah posisi walau dengan kakinya yang masih sakit demi mendapat foto dengan angle yang sempurna.
                Raeun tersenyum puas dengan hasil yang didapatkan dari lensa kameranya, ia bahkan sampai lupa dengan keberadaan Jihoon, maniknya kemudian berkeliling mencari hingga menemukan sosok tersebut yang tengah tersenyum memandang burung-burung kecil yang hinggap di atas batu pinggiran sungai. Entah kenapa Raeun tertarik untuk mengarahkan lensa kameranya tepat pada wajah Ji Hoon. Tak ada gerakkan dari jari gadis itu untuk menekan tombol mengambil gambar, ia justru  tenggelam pada wajah dengan garis yang mampu menghipnotis dirinya, belum lagi sudut-sudut bibir pria itu terangkat, membuatnya Raeun menyadari satu hal, ternyata Ji Hoon adalah sosok pria yang manis.
                Klik, satu gambar pria itu telah berhasil diabadikan. Entah mengapa Raeun merasa beruntung bisa mendapatkan foto Jihoon yang tengah tersenyum, dibandingkan dengan foto-foto lain yang ia ambil ketika JI Hoon melanggar peraturan. Foto Jihoon menjadi foto terakhir yang Raeun ambil, ia kemudian memasukkan kamera  ke dalam tasnya dan berjalan pelan menuruni batu besar yang ia jadikan pijakan, namun tiba-tiba kakinya tersandung hingga membuatnya hilang keseimbangan.
                “Gwnchana?” Raeun bahkan tak sempat menghitung detik waktu, Jihoon dengan cepat  menghampiri dan menanyakan keadaannya.
                “Aku baik-baik saja, hanya tersandung.” Ujar Raeun sambil berusaha berdiri dibantu Jihoon yang menariknya di lengan.
                “Kau harus hati-hati, luka di kakimu masih belum sembuh.”
                Entah mengapa perkataan Ji Hoon barusan terasa aneh di telinga Raeun. Lantas ia menatap wajah Ji Hoon dengan jarak yang cukup dekat, membuat Raeun kembali menyadari jika hasil jepretannya barusan tak dapat mengalahkan sosok aslinya.
~
                Walau terasa berat Sohye terus melangkahkan kakinya memasuki gedung sekolah Tourin School. Beberapa pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya, bahkan tak sedikit dari mereka yang memberikan tatapan sinis. Namun Sohye terus berusaha menguatkan hatinya. Hari ini adalah hari dimana ia kembali ke sekolah, setelah menjalani hukuman selama satu minggu. Sebenarnya masih ada satu sanksi yang diterimanya selain di skorsing selama satu minggu, yaitu  tak lagi menjadi salah siswa kelas A.
                Sohye menghentikan langkah kakinya sebelum memasuki ruang kelas dengan palang bertuliskan  F – 2 Class, dari sudut matanya ia dapat melihat siswa-siswa kelas F yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Setelah menarik nafas panjang ia mengetok pintu dan membuat seisi kelas terdiam memandang sosoknya.
                Kali ini fikiran akan penolakan kembali menghantui Sohye. Ia hanya bisa menunduk berjalan ke depan kelas untuk mempekenalkan diri.
                “Anyoeng Haseo, namaku Kim Sohye, mulai hari ini aku akan menjadi siswa kelas F, jadi kumohon kerjasamanya.”
                Kelas masih hening, tak ada sahutan.
Hingga sebuah suara terdengar dari salah satu siswa.
                “Welcome to Fantastic Class
                Saat itu juga kelas menjadi gaduh, semua orang tampak antusias dan gembira menyambut kedatangan Sohye. Sohye masih tak percaya dengan penyambutan yang tak kalah meriahnya dengan pesta ulang tahun. Seketika kekhawatirannya akan penolakan sirna begitu saja. Hingga dirinya dikejutkan dengan sebuah rangkulan dipundaknya.
                “Selamat datang di kelas F chingu-a, sekarang kau sudah resmi menjadi keluarga besar kelas F.” Ucap Raeun disertai senyuman yang lebar.
                Sohye tak perlu merasa menyesal karena tak lagi menjadi siswa kelas unggulan. Justru ia yakin, dikelas sederhana ini ia bisa mendapat kehangatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Siswa-siswa di kelas itu bahkan tak henti mengucapkan selamat datang dan kalimat semangat untuknya. Diantara mereka, Sohye dapat melihat seseorang yang membuat rasa hangat menjalar ke dalam hatinya, Park Ji Hoon tersenyum ke arahnya.
                Di tengah kegaduhan itu, kembali terdengar suara ketukan pintu. Kali ini ketukan itu berasal dari seorang yang membuat wanita di kelas F benar-benar diam mematung.
                “Yoo Ra Eun, bisa bicara denganmu sebentar.” Setelah menemukan sosok yang dicarinya tak jauh dari pintu, Hwang Min Hyun segera memanggilnya.
                Raeun yang menyadari jika Minhyun memanggilnya hanya bisa mengangguk terbata kemudian berjalan mengikutinya keluar kelas.
                “Minhyun-a, aku sudah selesai menggunakan kameramu, besok akan aku kembalikan.” Raeun memulai pembicaraan setelah mereka berdiri di lorong depan kelas Raeun sendiri.
                “Kalau begitu kau bisa membawa kameraku sore besok, di kafe dekat taman kota.”
                “Ka..fe?” Raeun mengernyit.
                “Ya, ada sesuatu yang juga aku ingin bicarakan denganmu.”
                Seketika mata Raeun membulat mendengar pernyataan Minhyun, ia bahkan dapat mendengar beberapa suara pekikan dari teman-teman wanitanya yang merapat pada jendela kelas.
                “Ba…baiklah.”

Baru sembuh dari writer’s block syndrome, kekeke. Semoga ke depan bisa update chapter tepat waktu, and  I hope these ideas can flow smoothly.