Jumat, 29 September 2017

The Crown Prince (Ficlet)


The Crown Prince
by Shin Eun So
EXO’s Kim Jongdae (Chen), OC’s Kim Jongmi, | Family, Saeguk, Manipulation Age | Ficlet


Jeoooha” lengkingan keras dari para Kasim justru membuat langkah si putra mahkota semakin cepat, melewati bangunan utama istana Changgyeonggung , bahkan jubah biru malamnya tak menjadi penghambat kelincahan kaki-kakinya. Beruntung hampir seluruh para pengawal istana sedang pergi berperang bersama Raja.
Kim Jongdae- Sang Putra Mahkota mengintip pelan dibalik tiang besar bangunan istana, para Kasim yang mengejarnya masih belum terlihat. Kesempatan itu ia gunakan untuk berlari kearah gerbang timur istana. Entah keberuntungan atau hanya kebetulan, sang pangeran menemukan kuda tunggangannya, dan tanpa pikir panjang ia segera memacu kudanya meninggalkan istana.
~
Blubb.. suara batu yang dilemparkan memecah ketenangan air danau, berbaur dengan suara katak, ditambah suara mistis yang berasal dari lambungnya. Jongdae sadar sejak insiden kaburnya ia dari istana hingga matahari yang telah melewati batas ubun-ubun, ia tak sempat mengunyah satupun makanan. Seekor katak yang tengah menggunakan lidah panjangnya menangkap capung di atas teratai menarik perhatiannya. Katak itu kemudian nampak memandang ke arah Jongdae seraya mengeluarkan bunyi, seakan berbicara padanya.
          “Aigooo… kau mengejekku huh? Semudah itu kau mendapat makanan.”  dengan kesal ia melempar batu berukuran cukup besar ke arah si katak, namun batu itu melesat jatuh ke dalam air.
          Jongdae kembali megerang kesal sembari memegang perutnya yang kian terasa menusuk. Kini ia hanya menyandarkan dirinya di batang pohon besar yang tumbuh tepat dipinggir danau, bahkan  iksongwan  yang ada di kepalanya tak lagi beraturan, hingga anak-anak rambutnya terlihat keluar. Sesekali ia menggaruk kepala dan bagian tubuhnya yang terasa gatal, mungkin serangga di sekitar danau tak ingin ketinggalan menggoda si Pangeran yang baru kabur dari istana itu.
                   
~
          Beberapa orang berkuda dipimpin seorang wanita dengan pakaian khas istana dengan rambut dikepang satu dan diikat pita menembus hutan. Tiba di persimpangan, ia memerintahkan beberapa orang pengawalnya mengambil jalan barat, sedangkan dirinya dan beberapa lagi melewati jalan timur. Saat di perjalanan, wanita itu tiba-tiba teringat sesuatu, ia menghentikan lari kudanya, kemudian merubah arahnya menuju selatan, mengikuti suara hatinya yang terus menguarkan nama danau gaeguli.
          Wanita itu mengangkat tangan, isyarat perintah kepada dua pengawal yang mengikutinya untuk berhenti. Maniknya menajam saat menemukan objek yang dicarinya tengah uring-uringan di bawah pohon pinggir danau. Ia lantas turun dari kuda dan berjalan mendekati sosok tersebut.
          “Wangseja-nim..”
          Jongdae yang mengenali suara tersebut segera menegakkan tubuhnya dan merapikan iksongwan yang ada di kepalanya, namun sedikitpun ia tak berniat memalingkan wajahnya.
          “Sebaiknya Nunim kembali karena aku tak akan pulang ke istana.”
          Sahutan Jongdae membuat senyum simpul di wajah gadis yang tak lain adalah kakak perempuannya – Kim Jongmi, ia sudah paham betul bagaimana sifat adiknya yang tengah berada pada masa pubertas itu.
          “Aboeji sebentar lagi akan sampai di istana, kau tak ingin menyambutnya?”
          Mendengar kabar bahwa Ayahnya sebentar lagi akan datang membuat Jongdae bergidik. Sepintas bayangan mengerikan menghantui pikirannya.
          “Aku tetap tak akan kembali ke istana, atau sebaiknya aku tak usah kembali lagi untuk selamanya” 
          “Kim Jongdae, jaga bicaramu.” Jongmi meninggikan suaranya, tak setuju dengan perkataan adiknya.
          “Nunim, cobalah mengerti bagaimana rasanya menjadi putra mahkota, seharian hanya menghabiskan waktu untuk belajar. Belum lagi dengan aturan istana yang benar-benar membosankan. Aku lelah menjadi Putra Mahkota dan kehidupan istana. Kalaupun kutukan memakan katak di danau ini bisa merubah manusia menjadi salah satu dari mereka itu benar, aku akan melakukannya, jadi aku tak perlu lagi terikat dengan kehidupan istana”
          Mendengar pernyataan Jongdae, Kim Jongmi lantas mendekat ke tepian danau, dengan cekatan gadis itu mencari seekor katak, tak selang lama kemudian ia berhasil mendapat seekor katak berwarna hijau.
          “Ini, makanlah, apa perlu aku potongkan untukmu?” Tanya Jongmi sambil mendekatkan katak ke arah Jongdae, namun si Pangeran justru melangkahkan kakinya mundur sambil bergidik.
          “Lihat, bahkan menyentuh katak pun kau geli, bagaimana bisa kau berani memakannya?”
          “Yaa..Nunim aku tak berbicara serius tadi.”
          Jongmi melepaskan kembali katak dari genggamannya seraya menatap wajah masam adiknya. Sejenak tercipta keheningan di antara mereka berdua. Jongdae kembali memandang ke arah danau, tepat pada bayangan dirinya yang seakan menahannya untuk tetap diam di tempat itu.
          “Andai saja aku tidak memecahkan guci air suci itu, mungkin tidak akan serumit ini.”
          Mendengar ujaran Jongdae yang sarat penyesalan mengingatkan Jongmi kembali pada kegaduhan pagi tadi, diawali dengan teriakkan Halma Mama yang membuat seluruh penjuru istana panik. Guci berisi air suci milik Raja yang pecah, serta Pangeran Jongdae yang berlari dikejar-kejar para Kasim kemudian pergi meninggalkan istana. Hingga matahari semakin berpendar ke barat, ia tak jua menemukan sosok adiknya itu di istana.
          Kedatangan seseorang membuyarkan keheningan di antara mereka, Dayang Ma,  baru saja tiba dengan beberapa orang kasim. Ia menunduk hormat kemudian meminta izin kepada Jongmi untuk membisikkan sesuatu, mendengar bisikkan itu, raut wajah Jongmi berubah seketika. Jongdae yang memperhatikan mereka yakin jika Dayang Ma datang membawa berita dari kerajaan, lebih tepatnya berita buruk untuknya.
          “Nunim, kumohon jangan beritahukan keberadaanku pada Aboedji, aku benar-benar tidak ingin dihukum.”
          Kim Jongmi menggeleng-gelengkan kepalanya seraya memasang raut wajah tegas, tak peduli dengan wajah pias adiknya “Kau sudah tertangkap yang mulia, Joeha. Kau tidak bisa lari dari hukuman, sekalipun aku kakak kandungmu, hukum kerajaan harus tetap dijalankan.”
          Seketika itu juga Jongdae berlutut di depan Jongmi, ia menundukkan kepalanya dalam, suara isak mulai terdengar diantara tarikan nafasnya.
          “Nu..nim kumohon. Aku tidak akan nakal lagi, aku akan berusaha menjadi putra mahkota yang baik, dan aku ..merestui hubunganmu dengan Panglima Chanyoel.”
          Pernyataan Jongdae terakhir membuat Jongmi tak sanggup lagi menahan tawanya. Jongdae hanya menatap kakaknya heran.
          “Sekarang aku percaya dengan ucapanmu tempo hari tentang gangguan penglihatan halma mama, guci itu bukan guci yang berisi air suci, hanya guci biasa yang akan digunakan pada ritual di kuil nanti”
          Tak ada satupun kelegaan yang dirasakan Jongdae, alih alih melihat kakaknya yang masih sibuk tertawa, ia lebih memilih memandang ke arah danau, dan sesuatu membuat rasa kesalnya semakin bertambah.
          Seekor katak berwarna kebiruan baru saja berhasil memangsa laba-laba yang berukuran cukup besar, katak itu kemudian menghadap ke arahnya dan menjulurkan lidahnya yang panjang dengan cepat seakan mengolok dirinya. Sang Putra Mahkota masih merasa lapar.  


The TEEN-ACE (Chapter 3)


Tittle               : The TEEN-ACE (Chapter 3)
Casts               : Yoo Raeun (OC)
                          Kim Sohye (ex IOI)
                          Park Ji Hoon (Wanna One)
                          Hwang Min Hyun (Wanna One)
                          Joen Somi (ex IOI)
                          Jung Chaeyeon (DIA)
                          Kim Jae Hwan (Wanna One)
                          Ha Soek Jin (Actor)
Author : Shin Eun So / Nugichan (Wp)
Genre              : AU, School life, Romance
Length            : Chapter
Ratting           : General
Disclaimer      : This FF is truly mine. No Copy No Plagiat. Enjoy Reading !

"I was locked by your face"

Sohye yakin dirinya belum terlambat, dengan langkah sigap ia memasuki ruangan yang terpias warna jingga. Satu kejutan lagi bagi Sohye ketika maniknya menangkap objek yang tengah dilahap oleh kobaran api yang kian detik kian membesar, ia dapat dengan jelas melihat bagian yang bertuliskan soal kompetisi fisika dengan nama dan logo universitas yang telah menjadi bahan pembicaraan sekolah akhir-akhir ini. Ia kemudian memutar badannya dan berkeliling ruangan mencari alat pemadam kebakaran, namun tak berhasil mendapatkannya. Sohye segera berlari ke luar menuju beberapa ruangan terdekat berharap dapat menemukan alat pemadam api, namun ruang-ruang tersebut sudah terkunci. Ia pun terus berlari menuju ruang lainnya sembari berteriak berharap ada seseorang yang mendengarnya, tiba-tiba dirinya terpikirkan sesuatu, alarm sekolah, namun keanehan lain kembali terjadi saat ia mencoba membunyikan alarm tersebut, tidak berfungsi. Sohye  menggerutu kesal, kenapa di saat seperti ini ia tak menemukan satupun penjaga sekolah yang bertugas melakukan shift malam. Tarikan nafasnya semakin cepat dan suaranya kian serak, akhirnya Sohye memutuskan menuju ruang kebersihan, dengan cepat ia mengambil beberapa kain lap kemudian membasahinya.
Masih dengan nafas terengah-engah dan buliran keringat yang membasahi tubuhnya, Sohye kembali berlari dengan beberapa kain basah di tangannya. Tiba di ruang guru, maniknya tak lagi menemukan cahaya api, melainkan beberapa penjaga sekolah yang memandang heran kedatangannya.
~
Raeun yang  baru saja mendapat kabar tentang insiden terbakarnya soal-soal kompetisi fisika segera menuju kelas A dengan langkah terburu-buru. Setibanya di sana mata Raeun berkeliaran mencoba mencari sosok yang benar-benar ingin ia temui, namun pemandangan yang ia temukan hanya beberapa siswa yang  sibuk dengan laptop dan buku-buku pelajaran.
“Jihoo, dimana Sohye?” Raeun langsung bertanya begitu melihat salah satu siswa kelas A yang hendak menuju kelasnya.
“Bukankah dia sedang ada di ruang sidang sekarang?”
Raeun membulatkan kedua matanya, sekarang ia benar-benar percaya kabar dijadikannya Sohye sebagai tertuduh insiden itu. Ia kembali melangkahkan kakinya menuju ruang sidang. Setibanya di sana Raeun berdecak miris, tak ada satupun siswa dari kelas A yang menunjukkan keberadaannya untuk memberi dukungan kepada Sohye, padahal sekarang adalah jam istirahat. Sohye pasti benar-benar merasa kesepian.
Dari balik kaca jendela ia dapat melihat raut kelam wajah Sohye yang tengah diadili oleh beberapa guru dan kepala sekolah, tak jauh darinya duduk seorang pria yang ia yakini adalah ayahnya. Dengan gelisah Raeun menunggu sesekali ia melihat ke dalam ruangan, hingga tak berapa lama kemudian kepala sekolah dan beberapa guru terlihat melangkah keluar dari ruangan itu.
 “Sohye-a” Raeun segera menghampiri Sohye yang baru saja keluar diikuti oleh ayahnya
“Anyoenghaseo, samcheon.” menyadari kehadiran ayah Sohye, Raeun segera membungkuk untuk menyapa yang dibalas ayah Sohye dengan senyuman.
“Ayah akan menunggumu di depan gerbang sekolah.” Ujar Ayah Sohye sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan berdua.
Gwenchana?” Tanya Raeun. Sohye hanya mengangguk pelan disertai satu senyuman yang terbit dari bibirnya, seakan mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Namun Raeun mengetahui apa yang tengah dirasakan Sohye sekarang dari matanya yang terlihat sembab.
Gomawo atas kepedulianmu, walau tidak sekelas, aku benar-benar merasa kau adalah classmate ku.”
Raeun ikut tersenyum mendengar pernyataan Sohye, dugaannya benar jika Sohye tak memiliki satu teman pun di kelasnya, terbukti sekarang tak ada satu pun siluet dari siswa-siswa kelas yang paling dibanggakan itu datang mengungjunginya. Raeun tahu sekarang bagaimana kehidupan kelas A yang sebenarnya, membuatnya melempar jauh sisa-sisa keinginannya dulu untuk masuk ke kelas A saat tahun pertama menjadi siswa Tourin.
 “Sohye-a, aku ada di pihakmu.” Ucap Raeun kembali seraya menepukkan  kepalan tangannya di dada.
Sohye lantas tersenyum, ia dapat melihat kesungguhan dari tatapan mata Raeun. Namun bahunya kembali lemas mengingat sanksi yang ia dapat dari sidang tadi “Mungkin selama seminggu ke depan kita tak akan berjumpa di sekolah”
Hwaiting Sohye-a, tetaplah kuat seperti akar pohon pegunungan  yang mampu menahan air dan tanah sekaligus, Ini hanya persoalan waktu, jadi bersabarlah.”
Mendengar perkataan Raeun membuat Sohye terharu sehingga ia tak mampu lagi menahan tangisnya. Raeun yang mengerti kemudian memeluknya, mencoba memberi kekuatan, ia yakin jauh di dalam diri Sohye ada sosok kuat.
                Tanpa disadari seseorang tengah memperhatikan mereka dari jauh, Ji Hoon menarik nafasnya dalam, ia tahu hal ini akan terjadi. Jauh dalam hatinya ada rasa iba terhadap gadis itu, namun diatas perasaan itu, ada hal lebih yang menarik dirinya untuk keluar dari batas yang selama ini ia buat, dan Ji Hoon bertekad untuk melewati satu dari batas itu.
~
                Tuan Joen memijat pelan pelipisnya, baru saja ia terlibat negosiasi serius dengan perwakilan Universitas London. Pihak mereka telah mengetahui kabar terbakarnya soal-soal kompetisi Fisika, dan hal itu hampir saja membatalkan perjanjian kerjasama yang telah susah payah dibuat oleh sang komite utama Tourin School.
                “Kompetisi ini akan ditunda sampai bulan depan. Bagaimanapun juga aku tak ingin ada kejadian seperti ini terulang lagi”
                “Ye. Tuan Joen” sahut Kwang Ji Hae, kepala sekolah Tourin dengan penuh hormat. “Kami juga sudah memberikan sanksi kepada salah seorang siswa yang terbukti melakukan pembakaran tersebut.”
                Tuan Joen mengernyitkan alisnya, ia memang mendengar jika kebakaran itu diakibatkan salah seorang siswa, namun dirinya tak ingin membahas hal tersebut lebih lanjut.
                “Yang penting kompetisi itu tetap berlanjut dengan melibatkan seluruh siswa. Aku yakin, ini salah satu cara untuk mengetahui potensi yang selama ini anak itu sembunyikan.”
                Kepala sekolah Kwang mengangguk tersenyum, dari awal dirinya memang sudah tahu apa tujuan utama direktur Joen mengadakan kerjasama dengan Universitas London tersebut, itulah mengapa walau terjadi insiden, Tuan Joen tetap mempertahankan komitmennya.
~
                Cuaca malam yang cukup menggelitik kulit serta suasana sekolah yang sepi dengan pencahayaan minim tak menghalangi langkah seorang gadis untuk menuntaskan misinya malam ini. Semenjak insiden pembakaran soal kompetisi Fisika, penjagaan sekolah semakin diperketat. Namun setelah ia terlibat pembicaraan yang cukup panjang lebar dengan Sohye siang tadi tentang kejanggalan pada CCTV yang ditampilkan saat sidang, membuat tekad gadis yang tak lain adalah Yoo Raeun untuk mencari kebenaran semakin kuat.
                Berbekal cahaya ponsel, Raeun berjalan pelan melewati lorong sekolah, saat ini tujuannya adalah ruang monitor CCTV. Beruntung Raeun hafal letak CCTV yang ada gedung sekolah itu, sehingga ketika ia melewati bagian yang terekam lensa kamera, ia akan mematikan cahaya ponselnya. Pakaian berwarna gelap yang ia kenakan sangat membantunya berkamuflase. Tiba di depan ruang monitor, Raeun mendapati pintu yang terlihat renggang, sepertinya petugas penjaga ruang  tersebut tengah keluar. Kesempatan itu tak ia sia-siakan, segera ia masuk ke ruangan itu dan menemukan beberapa komputer yang masih menyala, dengan cepat Raeun menggerakkan kursor dan mencari data rekaman CCTV 2 hari yang lalu.
Tak lama  terdengar suara langkah kaki dan cahaya lampu menuju ruang monitor, namun hal tersebut sama sekali tak disadari oleh Raeun yang masih asyik menggeledah file rekaman CCTV. Hingga langkah kaki penjaga itu semakin mendekat, sebuah tangan membekap mulut Raeun dan menyeretnya menuju sisi lemari yang cukup besar di ruangan itu. Raeun begitu terkejut, membuat jantung dan nafasnya berirama cepat, ia hendak berteriak namun diurungkannya ketika melihat penjaga masuk ke ruangan itu.
Hanya seling detik berikutnya,  si penjaga kembali keluar ruangan setelah menggumamkan sesuatu yang ditinggalkannya. Setelah penjaga itu menjaih, Raeun segera menarik tangan yang membekap mulutnya dan mengarahkan cahaya ponselnya kewajah orang itu.
“Park ..Ji Hoon..”
~
             Raeun masih memperhatikan gerak-gerik namja yang tengah sibuk memeriksa sudut ruangan guru itu. Entah kenapa ia selalu diliputi rasa kesal jika berhubungan dengan siswa bernama Park Ji Hoon ini, terbukti dengan kejadian malam itu saat dirinya tiba-tiba dibekap dan diseret ke sisi lemari, untunglah jantungnya kuat menahan semua keterkejutan itu.
             “Ya, kenapa berdiri saja? Carilah sesuatu sebelum penjaga itu menyalakan CCTV ruangan ini.”
             Mendengar teguran dari Ji Hoon membuat Raeun beranjak dari keterdiamannya, sebelum kesini mereka telah menonaktifkan CCTV ruang guru agar memudahkan investigasi.
             Raeun terlihat serius mendalami kegiatan investigasi itu, ia mencoba mencari benda yang kiranya dapat memberi mereka petunjuk dengan insiden yang telah melibatkan Sohye. Saat bola matanya menelusuri bagian rak atas lemari berkas tiba-tiba ia melihat lampu CCTV yang kembali menyala, sosok mereka mungkin tak terlihat karena ruang guru yang gelap, namun cahaya dari ponsel yang mereka gunakan bisa menunjukkan keberadaan mereka.
             “Ji Hoon, matikan pon.. aakk” Raeun yang hendak berjalan menuju Ji Hoon tiba-tiba terhenti ketika ia merasakan sesuatu menusuk kakinya.
             Ji Hoon yang melihat Raeun meringis sambil memegang kakinya segera menghampiri, ia kemudian memeriksa kaki Raeun yang nampaknya terluka.
             “Kita harus meninggalkan ruangan ini sekarang.”
~
Dengan tertatih Raeun berjalan menuju sebuah bangku. Mereka hampir saja tertangkap mata oleh para penjaga, namun mereka berhasil kabur dan singgah di taman kota yang tak jauh dari sekolah Tourin. Raeun kembali meringis ketika melihat darah yang semakin banyak keluar dari luka dari kakinya. Ia kemudian memperhatikan JI Hoon tengah mengambil sesuatu dari motornya yang terparkir tak jauh dari tempat duduknya.
 “Kau membawa obat-obatan?” Tanya Raeun heran ketika melihat Ji Hoon menghampirinya dengan sebuah kotak transparan yang dapat dilihat dengan jelas isinya adalah perlengkapan P3K. Ia tak menyangka, siswa yang cukup liar seperti Ji Hoon ternyata juga peduli dengan keselamatan.
“Aku selalu membawanya dalam jok motorku, sini, biar kulihat luka kakimu.”
Raeun dengan ragu mengangkat kakinya yang terluka “Apa karena sering berkelahi atau balapan liar kau jadi membawa obat-obatan?”
“Tidak juga, salah satunya bisa jadi karena kecerobohan seseorang. Seperti dirimu.”
Raeun mencibir mendengar perkataan Ji Hoon, raut wajahnya berubah menjadi meringis saat Ji Hoon mengoleskan cairan anti septik pada lukanya.
“Ternyata tak hanya diriku yang berada pada pihak Sohye.” Ujar Raeun seraya menatap Ji Hoon, mendengar itu Ji Hoon hanya menoleh sebentar kemudian focus mengobati luka Raeun“ Sejak awal aku merasa kejadian ini sudah janggal. Mana mungkin siswa yang mendapat julukan penakluk rumus fisika seperti Sohye ingin mengacaukan kompetisi itu” Lanjut Raeun.
“Posisi Sohye memang rumit, karena dia menjadi satu-satunya saksi saat kejadian, belum lagi bukti-bukti yang mengarah padanya. Aku yakin ini hanya sebuah provokasi yang memanfaatkan Sohye.”
Raeun mengangguk-angguk setuju dengan pendapat Ji Hoon,
“Tapi, kenapa kau juga ingin mengungkap kasus Sohye, apa jangan-jangan kau…” belum sempat Raeun menyelesaikan perkataannya, Ji Hoon menyela.
“Sebaiknya kita pulang.”
~
Mianhae Racoon-ah, unnie tiba-tiba saja mengantarkan Jun kerumahku. Dia ada rapat mendadak dengan atasannya. Mana mungkin kan aku membawa Jun bersamamu ke Namsan Tower?”
Raeun menghela nafas panjang, akhir pekan ini ia dan Chaeyeon berencana pergi ke Namsan Tower untuk mengambil beberapa foto yang akan dikirim pada lomba fotografi, namun mendadak Chaeyeon harus menjadi babysitter keponakannya pagi itu. Padahal deadline pengumpulan foto tinggal 1 hari lagi, mau tidak mau Raeun harus pergi hari itu juga.
“Pasti akan sangat merepotkan membawa anak kecil, tak apa Chaeyoen, aku bisa pergi sendiri.” Ucap Raeun dengan nada riang sembari memandangi kakinya yang diperban, ia tak ingin menceritakan kondisinya saat ini kepada Chaeyeon, sahabatnya itu pasti sangat khawatir dan merasa tak nyaman karena tak jadi menemaninya.
                Raeun duduk termenung di kursi halte bis, ia masih ragu apakah ia harus pergi ke Namsan Tower, padahal jaraknya cukup jauh, belum lagi ia kesulitan berjalan karena kakinya yang sakit. Tiba-tiba sebuah kendaraan berhenti di depannya.
                “Jihoon” Raeun mengernyit heran ketika melihat Jihoon berhenti di depannya.
                “Naiklah.”
                “Tidak perlu, aku akan menunggu bus saja.”
                “Dengan kondisi kaki seperti itu?” Tanya Jihoon dengan pandangan matanya menuju pada kaki Raeun.
                Raeun hanya terdiam, sebenarnya ia masih ragu dengan tujuannya saat itu.
                “Aku tau tempat wisata yang bagus dijadikan objek foto.”
Kali ini perkataan Ji Hoon mampu menghilangkan sedikit keraguan Raeun walau ia tak tahu pasti kemana Jihoon akan membawanya.
~
                Raeun memandang takjub pemandangan yang saat ini terhampar di depan matanya. Sungai jernih dengan aliran yang begitu tenang,  dihiasi dengan pepohonan ginkgo dengan daun keemasan yang tumbuh disisinya.  
                “Dulu ini adalah tempat wisata, namun seiring dengan pembangunan, tempat ini  terlupakan. Lihat saja sebagian besar pengunjung di sini adalah orang tua. Tempat ini tak diperhatikan lagi, beberapa fasilitasnya bahkan mengalami kerusakan parah.” Jelas Ji Hoon.
                Raeun memperhatikan sekelilingnya, dan benar saja sebagian besar pengunjung di sana adalah mereka yang diperkirakan berusia di atas 40 tahun, bisa di bilang hanya mereka berdua yang berusia muda di sana..
                “Akan sangat bagus jika kau menjadikannya sebagai objek fotomu, kau bisa mengangkat keberadaan tempat wisata ini lagi.” Lanjut Ji Hoon.
                Raeun tersenyum, Ji Hoon benar. Kenapa ia menargetkan tempat-tempat yang sudah terkenal untuk menjadi objek fotonya. Padahal masih banyak di tempat-tempat yang memiliki potensi untuk dijadikan tempat wisata, dengan begitu pemerintah pasti akan lebih memberikan perhatiannya.
Dengan semangat Raeun mengeluarkan kamera yang beberapa hari lalu dipinjamkan Mihyun dari dalam tasnya. Dia kemudian mengarahkan lensanya menangkap pemandangan yang terlihat sangat alami. Bahkan Raeun berkali-kali berpindah posisi walau dengan kakinya yang masih sakit demi mendapat foto dengan angle yang sempurna.
                Raeun tersenyum puas dengan hasil yang didapatkan dari lensa kameranya, ia bahkan sampai lupa dengan keberadaan Jihoon, maniknya kemudian berkeliling mencari hingga menemukan sosok tersebut yang tengah tersenyum memandang burung-burung kecil yang hinggap di atas batu pinggiran sungai. Entah kenapa Raeun tertarik untuk mengarahkan lensa kameranya tepat pada wajah Ji Hoon. Tak ada gerakkan dari jari gadis itu untuk menekan tombol mengambil gambar, ia justru  tenggelam pada wajah dengan garis yang mampu menghipnotis dirinya, belum lagi sudut-sudut bibir pria itu terangkat, membuatnya Raeun menyadari satu hal, ternyata Ji Hoon adalah sosok pria yang manis.
                Klik, satu gambar pria itu telah berhasil diabadikan. Entah mengapa Raeun merasa beruntung bisa mendapatkan foto Jihoon yang tengah tersenyum, dibandingkan dengan foto-foto lain yang ia ambil ketika JI Hoon melanggar peraturan. Foto Jihoon menjadi foto terakhir yang Raeun ambil, ia kemudian memasukkan kamera  ke dalam tasnya dan berjalan pelan menuruni batu besar yang ia jadikan pijakan, namun tiba-tiba kakinya tersandung hingga membuatnya hilang keseimbangan.
                “Gwnchana?” Raeun bahkan tak sempat menghitung detik waktu, Jihoon dengan cepat  menghampiri dan menanyakan keadaannya.
                “Aku baik-baik saja, hanya tersandung.” Ujar Raeun sambil berusaha berdiri dibantu Jihoon yang menariknya di lengan.
                “Kau harus hati-hati, luka di kakimu masih belum sembuh.”
                Entah mengapa perkataan Ji Hoon barusan terasa aneh di telinga Raeun. Lantas ia menatap wajah Ji Hoon dengan jarak yang cukup dekat, membuat Raeun kembali menyadari jika hasil jepretannya barusan tak dapat mengalahkan sosok aslinya.
~
                Walau terasa berat Sohye terus melangkahkan kakinya memasuki gedung sekolah Tourin School. Beberapa pasang mata terlihat terkejut melihat kedatangannya, bahkan tak sedikit dari mereka yang memberikan tatapan sinis. Namun Sohye terus berusaha menguatkan hatinya. Hari ini adalah hari dimana ia kembali ke sekolah, setelah menjalani hukuman selama satu minggu. Sebenarnya masih ada satu sanksi yang diterimanya selain di skorsing selama satu minggu, yaitu  tak lagi menjadi salah siswa kelas A.
                Sohye menghentikan langkah kakinya sebelum memasuki ruang kelas dengan palang bertuliskan  F – 2 Class, dari sudut matanya ia dapat melihat siswa-siswa kelas F yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Setelah menarik nafas panjang ia mengetok pintu dan membuat seisi kelas terdiam memandang sosoknya.
                Kali ini fikiran akan penolakan kembali menghantui Sohye. Ia hanya bisa menunduk berjalan ke depan kelas untuk mempekenalkan diri.
                “Anyoeng Haseo, namaku Kim Sohye, mulai hari ini aku akan menjadi siswa kelas F, jadi kumohon kerjasamanya.”
                Kelas masih hening, tak ada sahutan.
Hingga sebuah suara terdengar dari salah satu siswa.
                “Welcome to Fantastic Class
                Saat itu juga kelas menjadi gaduh, semua orang tampak antusias dan gembira menyambut kedatangan Sohye. Sohye masih tak percaya dengan penyambutan yang tak kalah meriahnya dengan pesta ulang tahun. Seketika kekhawatirannya akan penolakan sirna begitu saja. Hingga dirinya dikejutkan dengan sebuah rangkulan dipundaknya.
                “Selamat datang di kelas F chingu-a, sekarang kau sudah resmi menjadi keluarga besar kelas F.” Ucap Raeun disertai senyuman yang lebar.
                Sohye tak perlu merasa menyesal karena tak lagi menjadi siswa kelas unggulan. Justru ia yakin, dikelas sederhana ini ia bisa mendapat kehangatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Siswa-siswa di kelas itu bahkan tak henti mengucapkan selamat datang dan kalimat semangat untuknya. Diantara mereka, Sohye dapat melihat seseorang yang membuat rasa hangat menjalar ke dalam hatinya, Park Ji Hoon tersenyum ke arahnya.
                Di tengah kegaduhan itu, kembali terdengar suara ketukan pintu. Kali ini ketukan itu berasal dari seorang yang membuat wanita di kelas F benar-benar diam mematung.
                “Yoo Ra Eun, bisa bicara denganmu sebentar.” Setelah menemukan sosok yang dicarinya tak jauh dari pintu, Hwang Min Hyun segera memanggilnya.
                Raeun yang menyadari jika Minhyun memanggilnya hanya bisa mengangguk terbata kemudian berjalan mengikutinya keluar kelas.
                “Minhyun-a, aku sudah selesai menggunakan kameramu, besok akan aku kembalikan.” Raeun memulai pembicaraan setelah mereka berdiri di lorong depan kelas Raeun sendiri.
                “Kalau begitu kau bisa membawa kameraku sore besok, di kafe dekat taman kota.”
                “Ka..fe?” Raeun mengernyit.
                “Ya, ada sesuatu yang juga aku ingin bicarakan denganmu.”
                Seketika mata Raeun membulat mendengar pernyataan Minhyun, ia bahkan dapat mendengar beberapa suara pekikan dari teman-teman wanitanya yang merapat pada jendela kelas.
                “Ba…baiklah.”

Baru sembuh dari writer’s block syndrome, kekeke. Semoga ke depan bisa update chapter tepat waktu, and  I hope these ideas can flow smoothly.